Sabtu, 22 November 2008

gue udah pindah ke krupukulit.wordpress.com

Minggu, 16 Maret 2008

Seputar Masalah Asas Non-Retroaktif

Seputar Masalah Asas Non-Retroaktif[1]
Arsil[2]

Pada tanggal 15 Februari 2005 yang lalu Mahkamah Konstitusi telah mengeluarkan putusan atas Permohonan Judicial Review Pasal 68 UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPTPK (Putusan No. 069/PUU-II/2004). Dalam putusan tersebut dinyatakan bahwa Mahkamah Konstitusi menolak permohonan Judicial Review yang diajukan oleh Pemohon dalam hal ini Bram Manopo yang juga merupakan salah satu tersangka dalam dugaan tindak pidana korupsi pembelian helikopter Rusia oleh Pemerintah Daerah Nanggroe Aceh Darussalam dengan alasan pihak Pemohon tidak mempunyai Legal Standing dalam permohonan tersebut.

Putusan Judicial Review ini dinilai mempunyai nilai yang sangat penting bagi pemberantasan tindak pidana korupsi khususnya bagi Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Pengadilan Korupsi karena dalam pertimbangannya MK berpendapat bahwa KPK tidak berwenang memeriksa tindak pidana yang tempus delictinya terjadi sebelum UU KPK disahkan. Selengkapnya kutipan pendapat tersebut:

Pasal 72 Undang-undang KPK, yang berada di bawah judul bab KETENTUAN PENUTUP, selengkapnya berbunyi, “Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan”. Tanggal pengundangan undang-undang dimaksud adalah 27 Desember 2002. Dengan rumusan Pasal 72 tersebut adalah jelas bahwa Undang-undang KPK berlaku ke depan (prospective), yaitu sejak tanggal 27 Desember 2002. Artinya, keseluruhan undang-undang a quo, hanya dapat diberlakukan terhadap peristiwa pidana yang tempus delicti-nya terjadi setelah undang-undang dimaksud diundangkan. Secara argumentum a contrario, undang-undang ini tidak berlaku terhadap peristiwa pidana yang tempus delicti-nya terjadi sebelum undang-undang a quo diundangkan;
(hal. 70)

Dengan demikian, terlepas dari perbedaan pendapat antara Pemohon, Pemerintah, DPR, dan Para Ahli tentang asas retroaktif apakah meliputi hukum materiil maupun formil, Mahkamah berpendapat bahwa Pasal 68 undang-undang a quo tidak mengandung asas retroaktif, walaupun KPK (hanya –pen) dapat mengambil alih penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana yang dilakukan setelah diundangkannnya Undang-undang KPK (vide Pasal 72) sampai dengan terbentuknya KPK (vide Pasal 70), sebagaimana telah diuraikan di atas; [3]
(hal. 73)

Pendapat MK itu menimbulkan polemik yang cukup hebat di masyarakat. Pihak-pihak yang selama ini memperjuangkan pemberantasan tindak pidana korupsi menyayangkan pendapat MK. Di antara pihak-pihak yang menganggap bahwa untuk perkara korupsi seharusnya asas non-retroactive dapat disimpangi karena korupsi (seharusnya) merupakan extra ordinary crime, ada juga pendapat yang menyatakan bahwa asas non-retroactive hanya mengikat untuk aturan materil/substansal akan tetapi tidak berlaku bagi hukum formil/ajektif. Di sisi lain ada juga kalangan yang setuju dengan pendapat MK di atas. Sementara terhadap Mahkamah Konstitusinya sendiri banyak pihak yang menuduh bahwa MK terlalu legalistik formal dalam melihat suatu permasalahan hukum.

Dari polemik tersebut perdebatan kemudian berkembang menjadi perdebatan apakah korupsi (seharusnya) merupakan extra-ordinary crime atau tidak, apakah asas non-retroaktive hanya berlaku pada hukum materil/substansial atau juga mengikat hukum formil/ajektif, hingga apakah pertimbangan hukum MK mengikat atau tidak. Terhadap obyek perdebatan yang terakhir ini tak urung Ketua Mahkamah Konstitusi Prof. Jimly Assidiqie ‘terpaksa’ turun tangan dengan menggelar konfrensi pers setelah membacakan putusannya dengan mengatakan bahwa yang mengikat hanya dictum putusannya saja, tidak untuk pertimbangan hukumnya.

Melihat dari perdebatan-perdebatan di atas penulis melihat bahwa walaupun putusan MK telah diputus dan final akan tetapi ternyata putusan tersebut masih menyisakan satu persoalan hukum berkaitan dengan masalah aturan apa saja yang terikat dengan asas non-retroactive serta bagaimana cara menguji suatu aturan maupun penerapan aturan sesuai dengan asas tersebut atau tidak.

Perdebatan-perdebatan di atas pada dasarnya terjadi oleh karena perkara semacam ini, yang mempertanyakan apakah suatu institusi yang baru dibentuk dapat menangani perkara yang terjadi sebelum institusi tersebut lahir atau tidak merupakan perkara yang pertama di Indonesia. Masalah ini kemudian dikaitkan dengan asas non-retroactive yang juga doktrin serta aturan yang ada khususnya di Indonesia masih sangat minim. Memang sudah pernah perkara yang ada yang berkaitan dengan hukum materil seperti pada perkara UU Terorisme dan UU No. 14/1985.

PENGERTIAN DAN PENGATURAN ASAS NON-RETROACTIVE

Sebelum melangkah lebih jauh perlu diperjelas terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan Asas non retroactive. Dalam Black’s Law Dictionary dikatakan Retroactivie adalah extending in scope or effect to matters that have occured in the past. Di indonesia istilah yang dekat dan sering dipergunakan adalah ‘berlaku surut’. Asas non-retroaktif ini biasanya juga dikaitkan dengan asas yang ada dalam hukum pidana yang berbunyi nullum delictum noela poena sinea pravea lege poenali (Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan)

Di Indonesia 2 (dua) aturan yang berkaitan dengan asas non-retroactive atau larangan memberlakukan surut suatu peraturan perundangan, yaitu dalam Pasal 28 i UUD 1945 dan Pasal 1 ayat (1) KUHP. Penerapan asas ini sebenarnya tidak mutlak, terdapat pengecualian-pengecualian, seperti yang terdapat dalam Pasal 1 ayat (2) KUHP dan tindak pidana yang dikategorikan sebagai extra ordinary crimes.[4]

Kedua aturan itu pada dasarnya merupakan penerapan dari asas yang ada dalam hukum pidana, oleh karenanya tidak aneh juga jika banyak kalangan yang berpendapat bahwa asas non-retroactive hanya berlaku bagi hukum pidana materil saja. Hal ini diperkuat lagi jika pasal 28 i UUD 1945 di atas ditafsirkan dengan metode penafsiran hukum yang ada maka terlihat bahwa pasal tersebut memang dimaksudkan hanya untuk pidana saja khususnya pidana materil.

Pertanyaannya adalah apakah asas non-retroaktif hanya berlaku untuk hukum pidana saja atau juga berlaku untuk bidang hukum yang lain, serta apakah asas tersebut hanya berlaku untuk hukum materil atau juga berlaku untuk hukum formil.

Untuk menjawab kedua pertanyaan tersebut penulis akan mengujinya dengan ilustrasi-ilustrasi kasus dibawah ini.

Misalnya pada tahun 2000 terjadi hubungan seksual sesama jenis antara A yang berusia 25 tahun melakukan perbuatan cabul dengan B yang pada saat itu berusia 20 tahun. Pada saat itu aturan perdata menyatakan bahwa batas usia kedewasaan laki-laki adalah 18 tahun. Berdasarkan hal tersebut maka terhadap A tidak dapat dijatuhkan pasal 292 KUHP yang melarang pencabulan dengan orang dibawah umur karena B berdasarkan aturan perdata saat itu dianggap telah dewasa. Kemudian pada tahun 2001 terjadi perubahan aturan perdata yang menyatakan bahwa batas usia kedewasaan laki-laki adalah 21 tahun. Jika pendapat yang menyatakan bahwa asas non-retroactive hanya berlaku untuk hukum pidana materil yang berarti pula bahwa aturan perdata dapat berlaku surut maka A menjadi dapat dipidana dengan pasal 292 KUHAP. Yang menjadi pertanyaan adalah apakah hal tersebut tepat?

Pada tahun 1990 A mempunyai utang sejumlah 100 juta dengan B karena A kalah judi dengan B. Pada tahun 1990 perjudian dianggap sebagai obyek yang halal sehingga perikatan yang terjadi karena perjudian dianggap memenuhi syarat sahnya perjanjian. Atas utang tersebut A dan B kemudian membuat perjanjian utang piutang dimana A berkewajiban mencicil utang setiap tahunnya sebesar 10 juta. Utang itu kemudian lunas pada tahun 2000 yang berarti perjanjian tersebut berakhir. Pada tahun 2001 terjadi perubahan suatu aturan yang menyatakan bahwa judi merupakan sesutu yang dilarang, yang berarti bahwa perikatan yang terjadi karena perjudian dianggap tidak sah dan batal demi hukum. Mengetahui hal tersebut kemudian A meminta B untuk mengembalikan utang yang telah dilunasinya dengan alasan bahwa perjanjian utang piutang diantara mereka tidak sah dan harus batal demi hukum. Pertanyannya apakah tindakan A sah atau tidak?

Contoh lain misalnya dalam bidang hukum administrasi negara. Misalnya pada tahun 1999 aturan mengenai syarat pencalonan anggota DPR tidak mencantumkan syarat ijazah. A yang pada saat itu tidak mempunyai ijazah kemudian mencalonkan diri hingga akhirnya terpilih menjadi anggota DPR hingga 2004. Pada tahun 2002 terjadi perubahan UU Pemilu yang menyatakan bahwa salah satu syarat untuk menjadi anggota DPR adalah memiliki ijazah S1. Jika asas non-retroactive hanya berlaku untuk hukum pidana materil maka berarti UU Pemilu (selain aturan pidananya) dapat berlaku surut. Jika benar demikian maka berarti A pada tahun 2002 harus dinyatakan tidak sah sebagai anggota DPR karena ia tidak memiliki ijazah S1. yang menjadi pertanyaan adalah apakah hal itu tepat atau tidak?

Contoh lain misalnya pada tahun 1980 biaya untuk memperpanjang KTP ditetapkan sebesar Rp. 1.000. Pada tahun 2000 kemudian terbit suatu aturan yang menetapkan biaya menjadi sebesar Rp. 5.000. A semenjak tahun 1980 hingga tahun 2000 telah 6 kali memperpanjang KTP dengan membayar Rp. 1000. Mengetahui perubahan biaya tersebut, B yang merupakan petugas kelurahan kemudian meminta agar A membayar kepada Kelurahan sebesar Rp. 24.000 (Rp. 4.000 x 6) karena menganggap selama ini berarti A telah kurang dalam membayar biaya perpanjangan KTP. Yang menjadi pertanyaan adalah apakah hal itu tepat?


Berdasarkan ilustrasi-ilustrasi di atas penulis berkesimpulan bahwa tidaklah benar jika asas non-retroactive hanya berlaku untuk hukum pidana saja, karena penerapan aturan secara retroaktif dalam peraturan perundang-undangan selain hukum pidana ternyata juga mengakibatkan dirugikannya hak-hak sesorang bahkan dapat berakibat terjadinya kekacauan hukum serta ketidakpastian hukum.

Mengenai pertanyaan selanjutnya, apakah asas non retroactive hanya berlaku untuk hukum materil atau juga terhadap hukum formil penulis juga akan menjawabnya dengan memberikan ilustrasi perkara.

Misalnya menurut KUHAP penangkapan terhadap seorang tersangka oleh penyidik dianggap sah walaupun tidak disertai dengan surat penangkapan. A pada tanggal 5 Febuari 2000 ditangkap oleh penyidik tanpa disertai surat penangkapan. Pada tanggal 10 Februari 2000 terjadi perubahan KUHAP yang menyatakan bahwa penangkapan hanya dapat dilakukan jika disertai dengan surat penangkapan, dan penangkapan yang tidak sah mengakibatkan dihentikannya penyidikan. Pertanyannya adalah apakah A berhak untuk menuntut dihentikannya penyidikan karena menurutnya penangkapan yang dilakukan terhadapnya pada tanggal 5 februari 2000 tidak sah berdasarkan KUHAP yang baru? Jika ya, lalu bagaimana terhadap perkara yang seperti demikian yang pada saat itu sudah berada di tingkat banding atau kasasi?

Contoh lain misalnya dalam acara perdata dinyatakan bahwa gugatan perdata sah jika diajukan di pengadilan didaerah hukum tergugat. Pada tanggal 1 juni 2004 X yang tinggal di Bandung mengajukan gugatan terhadap Y ke PN Bogor dimana Y berdomisili. Kemudian ketika perkara sudah berlangsung selama 2 hari terjadi perubahan hukum acara perdata yang menyatakan bahwa gugatan perdata sah jika diajukan di pengadilan di daerah hukum penggugat. Apakah gugatan Y kemudian menjadi tidak sah karena PN Bogor tidak mempunyai kompentensi relatif? Jika dinyatakan bahwa gugatan tersebut tidak sah karena hukum acara perdata tersebut dapat berlaku surut, lalu bagaimana dengan perkara-perkara lain yang sudah berada di tingkat PT maupun kasasi, apakah harus dinyatakan tidak sah juga karena masalah perubahan kompentensi relatif dari PN asalnya?

Berdasarkan ilustrasi-ilustrasi di atas penulis berkesimpulan bahwa asas non retroaktif tidak hanya berlaku untuk hukum materil/substansif akan tetapi juga berlaku untuk hukum formil/ajektif atau hukum yang mengatur mengenai acara. Penerapan hukum formil secara surut ternyata dapat mengakibatkan kekacauan administration of justice yang sangat pelik. Jadi menurut pendapat penulis pada prinsipnya asas non-retroaktif mengikat semua peraturan perundang-undangan, atau dengan kata lain pada prinsipnya semua peraturan harus bersifat prospektif.

Pendapat penulis di atas sejalan dengan fakta bahwa di Indonesia pernah terdapat aturan yang telah mengatur mengenai asas non-retroative ini, tepatnya pada masa Hindia Belanda, yaitu pada pasal 3 Algemene Bepalingen van Wetgeving (AB) yang terjemahannya :
“Undang-undang hanya mengikat untuk masa mendatang dan tidak mempunyai kekuatan yang berlaku surut.” [5]

Atas ketentuan tersebut Prof. Purnadi Purbacaraka dan Prof. Dr. Soerjono Soekanto dalam bukunya Perundang Undangan dan Yurisprudensi menjelaskan bahwa arti daripada asas ini adalah bahwa undang-undang hanya boleh dipergunakan terhadap peristiwa yang disebut dalam undang-undang tersebut dan terjadi setelah undang-undang itu dinyatakan berlaku.[6]

Terlepas dari apakah aturan AB tersebut saat ini masih berlaku atau tidak di Indonesia aturan tersebut menunjukkan kepada kita bahwa sebenarnya asas non retroactive memang tidak hanya berlaku untuk hukum pidana materil saja, akan tetapi asas tersebut berlaku untuk semua aturan perundang-undangan.

Lalu, apakah dengan demikian berarti penulis sependapat dengan pendapat MK yang menyatakan bahwa KPK tidak berwenang memeriksa perkara korupsi yang tempus delictinya terjadi sebelum UU KPK disahkan, atau dengan kata lain tindakan KPK memeriksa perkara korupsi yang tempus delictinya terjadi sebelum UU KPK disahkan adalah tindakan yang retroaktive?


Peraturan yang Retroaktif dan Penerapan Aturan yang Retroaktif

Sebelum menjawab pertanyaan tersebut penulis akan membahas terlebih dahulu bagaimana seharusnya asas Non Retroactive tersebut diterapkan. Dari ketentuan Pasal 28 i UUD 1945 serta AB terlihat bahwa asas non retroaktif berkaitan dengan 2 hal, yaitu peraturan perundang-undangan dan penerapan norma dari suatu peraturan perundangan.

Suatu peraturan dapat dianggap melanggar asas non-retroaktif jika aturan didalamnya menyatakan bahwa norma yang diaturnya berlaku juga untuk peristiwa terjadi sebelum aturan tersebut diundangkan. Pemberlakuan secara surut ini umumnya terdapat dalam pasal yang mengatur ketentuan penutup. Umumnya dalam ketentuan penutup tersebut disebutkan secara tegas bahwa aturan tersebut berlaku surut. Akan tetapi tak jarang pemberlakuan surut tidak disebutkan secara tegas, hanya saja hal tersebut dapat dilihat dari adanya selisih yang mundur antara tanggal pemberlakuan dengan tanggal pengesahan.

Di Indonesia Perpu No. 1 Tahun 2002 bukanlah peraturan yang pertama kali yang memberlakukan peraturan secara surut. Tercatat lebih dari 10 peraturan pernah diberlakukan secara surut. Aturan yang berlaku surut bukan saja yang dibuat oleh Pemerintah dan DPR, akan tetapi Mahkamah Agung pada masa Prof. Wirjono Prodjodikoro pun pernah mengeluarkan Perma yang diberlakukan secara surut, yaitu Perma No. 1/1954 dan Perma No. 2/1954 yang memberlakukan secara surut hingga 5 tahun kebelakang.[7] Umumnya peraturan-peraturan yang berlaku surut tersebut merupakan produk perundang-undangan sebelum tahun 1970. Penerapan secara surut juga pernah terjadi pada tahun 2000, yaitu PP No. 72/2000 tentang Penyesuaian Pensiun Pokok Mantan Pimpinan Dan Hakim Anggota Mahkamah Agung Serta Janda/Dudanya yang berlaku surut hingga 8 bulan kebelakang.

Pelanggaran terhadap asas non-retroaktif juga dapat terjadi dalam penerapan suatu peraturan, walaupun peraturan itu sendiri tidak tidak melanggar asas non-retroaktif. Misalnya A didakwa melakukan tindak pidana korupsi yang tempus delictinya terjadi pada tahun 1997 dengan menggunakan UU No. 31/1999. Dalam hal yang demikian maka yang salah adalah penerapan atas aturannya, bukan aturan itu sendiri. Jika dalam perkara demikian terdakwa menuntut agar UU No. 31/1999 tersebut melanggar asas non-retroaktif maka permohonan tersebut tentunya tidak tepat.

Sekarang permasalahannya adalah bagaimana cara untuk mengetahui apakah suatu tindakan melanggar asas non-retroaktif atau tidak. Seperti telah disebutkan diatas Prof. Purnadi Purbacaraka dan Prof. Dr. Soerjono Soekanto mengartikan pasal 2 AB bahwa arti daripada asas ini adalah bahwa undang-undang hanya boleh dipergunakan terhadap peristiwa yang disebut dalam undang-undang tersebut dan terjadi setelah undang-undang itu dinyatakan berlaku. Secara a contrario berarti bahwa undang-undang tidak boleh dipergunakan terhadap peristiwa yang disebut dalam undang-undang yang terjadi sebelum undang-undang tersebut dinyatakan berlaku.

Dari pengertian di atas terlihat bahwa ukuran suatu penerapan hukum adalah retroaktif atau tidak adalah peraturan itu sendiri. Seperti dalam ilustrasi-ilustrasi A-F di atas terlihat bahwa tindakan yang dinilai dihadapkan dengan aturan yang mengatur tindakan tersebut. Misalnya dalam ilustrasi E terlihat bahwa penilaian apakah sah atau tidaknya penangkapan yang dilakukan oleh penyidik dilihat dari bagaimana aturan penangkapan itu sendiri ketika penangkapan dilakukan. Di sini kita tidak mempertanyakan kapan tindak pidana yang dilakukan oleh tersangka terjadi atau tempus delictinya. Ketika yang ingin diuji adalah apakah perbuatan tersangka dapat dipidana atau tidak baru kita akan berbicara apakah pada saat perbuatan dilakukan oleh terdakwa perbuatan tersebut termasuk dalam perbuatan yang dilarang oleh hukum pidana atau tidak.

Sekarang mari kita uji perkara KPK ini. Dalam pasal 6c UU KPK disebutkan bahwa KPK mempunya kewenangan melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi. Untuk menguji apakah KPK bertindak secara retroaktif adalah dengan cara melihat kapan kewenangan dari pasal 6c tersebut dipergunakan. Jika kewenangan dipergunakan sebelum UU KPK diundangkan maka KPK bertindak secara retroaktif, akan tetapi jika kewenangan dipergunakan setelah UU KPK diundangkan maka maka tindakan tersebut tidak termasuk sebagai tindakan yang retroaktif melainkan tindakan yang tetap dalam kerangka prospektif.


Ilustrasi tindakan yang prospektif
UU 31/99
UU 30/2002



Penyidikan / Penerapan UU 30/2002
Tempus Delicti / Penerapan UU 31/99





UU 31/99
UU 30/2002
Tempus Delicti / Penerapan UU 31/99
Penyidikan / Penerapan UU 30/2002 Ilustrasi tindakan yang retroaktif/retrospektif









Ilustrasi kedua memang terkesan janggal, karena bagaimana mungkin kewenangan UU 30/2002 tersebut dipergunakan padahal institusinya sendiri belum berdiri. Esensi dari ilustrasi di atas berada pada penerapan suatu aturan. Ilustrasi kedua sebenarnya pernah terjadi, atau setidaknya secara hipotetis, yaitu dengan berlakunya Undang-Undang Darurat Nomor 29 Tahun 1950 tentang Penetapan Kejahatan-Kejahatan Dan Pelanggaran-Pelanggaran Yang Dilakukan Dalam Masa Pekerjaan Oleh Para Pejabat, Yang Menurut Pasal 148 Konstitusi Republik Indonesia Serikat Dalam Tingkat Pertama Dan Tertinggi Diadili Oleh Mahkamah Agung Indonesia. Undang-undang tersebut ditetapkan pada tanggal 9 Agustus 1950, akan tetapi dalam Pasal 2 nya disebutkan bahwa Undang-undang ini mulai berlaku pada hari diumumkan, serta berlaku surut sampai pada tanggal 27 Desember 1949.

Contoh kongkrit yang menunjukan sangat mungkinya terjadi penerapan yang retroaktif seperti ilustrasi diatas yaitu pada masalah gratifikasi.

Dalam Pasal 16 UU 30/2002 disebutkan bahwa Setiap pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima gratifikasi wajib melaporkan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi. Kemudian pada Pasal 12B jo. Pasal 12c UU 20/2001dinyatakan bahwa jika gratifikasi/hadiah yang diterima oleh pegawai negeri tidak dilaporkan dalam waktu 30 hari sejak diterimanya gratifikasi tersebut kepada KPK dianggap sebagai suap. Pada tanggal 5 januari 2002 A yang merupakan Pegawai Negeri menerima hibah sebesar Rp. 15 juta. Karena pada saat itu KPK belum berdiri A tentunya tidak melaporkan gratifikasi itu kepada KPK. Kemudian setelah KPK berdiri KPK kemudian mengetahui bahwa A pada tanggal itu telah menerima gratifikasi. Jika kemudian KPK menuntut A karena setelah 30 hari diterimanya gratifikasi tersebut A tidak melaporkan kepada KPK maka hal yang demikian inilah yang dikategorikan sebagai tindakan yang retroaktif.

Kembali ke pertanyaan apakah penulis sependapat dengan pendapat MK yang menyatakan bahwa KPK tidak berwenang memeriksa perkara korupsi yang tempus delictinya terjadi sebelum UU KPK disahkan, atau dengan kata lain tindakan KPK memeriksa perkara korupsi yang tempus delictinya terjadi sebelum UU KPK disahkan adalah tindakan yang retroaktive maka penulis secara tegas menyatakan tidak sependapat. Penulis sependapat dengan MK ketika MK menyatakan bahwa UU KPK harus berlaku secara prospektif, akan tetapi tidak sependapat jika dikatakan bahwa yang dimaksud dengan tindakan prospektis dilihat dari tempus delicti tindak pidana dilakukan. Tindakan yang dilakukan KPK selama tindakan tersebut dilakukan setelah UU KPK disahkan adalah tindakan yang termasuk dalam tindakan yang prospektif terlepas dari tempus delicti dari perkara yang diperiksa.

Pertimbangan ‘Argumentum A Contrario’

Dalam pertimbangannya MK menyatakan : “Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan”. Tanggal pengundangan undang-undang dimaksud adalah 27 Desember 2002. Artinya, keseluruhan undang-undang a quo, hanya dapat diberlakukan terhadap peristiwa pidana yang tempus delicti-nya terjadi setelah undang-undang dimaksud diundangkan. Secara argumentum a contrario, undang-undang ini tidak berlaku terhadap peristiwa pidana yang tempus delicti-nya terjadi sebelum undang-undang a quo diundangkan;

Oleh karena MK mengaitkan UU KPK dengan peristiwa pidana maka yang pertama harus dibuktikan untuk mengetahui apakah penafsiran tersebut benar adalah : apakah UU KPK mengatur aturan pidana? Ternyata UU KPK memang mengatur larangan pidana, yaitu dalam Bab X Pasal 65 s/d 67. Jadi jika seseorang dituntut dengan menggunakan ketiga pasal dimana tempus delictinya terjadi sebelum tanggal 27 Desember 2002 maka tindakan tersebut adalah tindakan yang retroaktif.

Yang menjadi pertanyaan adalah apakah jika KPK menuntut seorang tersangka dengan UU No. 31/1999 atau UU No. 20/2001 dapat dikatakan KPK telah melanggar asas non-retroaktif? Jika kedua UU itu baru diberlakukan bersamaan dengan UU KPK maka KPK tidak berwenang, akan tetapi faktanya ternyata tidak.

Dampak Putusan MK

Selain berdampak terhadap KPK, pertimbangan hukum MK sebenarnya juga potensial akan berdampak pada pembentukan institusi-institusi baru lainnya. Karena dengan demikian berarti pembentukan institusi-institusi baru juga hanya mengikat peristiwa-peristiwa hukum yang terjadi setelah aturan pembentukan institusi tersebut berlaku.

Dampak yang akan terkena adalah pada masalah ekstradisi. Jika perjanjian ekstradisi Indonesia dengan Singapura berhasil maka perjanjian tersebut akan dituangkan dalam Undang Undang, dan Undang-undang tersebut tentunya akan mengatur mengenai waktu pengundangan. Dengan menggunakan logika putusan MK tersebut berarti ekstradisi hanya dapat dilakukan terhadap tindak pidana yang tempus delictinya terjadi setelah UU Ekstradisi antara Indonesia dan Singapura tersebut diundangkan. Lalu apa yang akan terjadi? Selain para koruptor akan segera berbondong-bondong ke Singapura sebelum perjanjian ekstradisi tersebut di sahkan, hal ini juga akan menimbulkan kendala teknis yang luar biasa, yaitu pihak Indonesia maupun Singapura harus meneliti terlebih dahulu kapan tindak pidana yang dilakukan oleh tersangka yang akan diekstradisi dilakukan sebelum melakukan ekstradisi.

Dampak lainnya juga akan sangat mungkin terjadi terhadap pembentukan institusi-institusi peradilan di wilayah baru seperti kabupaten baru maupun provinsi baru. Dalam wilayah-wilayah itu tentunya akan dibentuk institusi Kepolisian, Kejaksaan maupun Pengadilan baru dengan suatu aturan perundang-undangan yang didalam aturan itu tentunya juga akan memuat pasal mengenai waktu diundangkannya peraturan itu. Jika logika pertimbangan hukum MK dianggap benar maka hal itu berarti institusi-institusi penegak hukum yang baru hanya berwenang memeriksa perkara-perkara yang tempus delictinya terjadi setelah institusi itu dibentuk. Lalu bagaimana dengan nasib perkara yang terjadi sebelum institusi dibentuk? Perkara tersebut tidak dapat diperiksa oleh pengadilan yang baru karena dianggap melanggar asas non-retroaktif, sementara pengadilan yang lama tidak dapat memeriksa perkara karena pengadilannya sudah tidak ada. Hal ini berarti terjadi kekosongan hukum.

Selain berdampak terhadap aturan-aturan yang lain, logika MK itu sebenarnya juga bertentangan dengan dirinya sendiri. Jika secara argumentum a contrario Ketentuan Penutup yang mengatur tentang tanggal diundangkannya suatu peraturan ditafsirkan seperti penafsiran MK tersebut maka berarti MK juga tidak berwenang memeriksa UU KPK itu sendiri. Karena UU KPK tersebut lahir setahun sebelum UU MK disahkan.


[1] Makalah ini dipresentasikan pada Diskusi Publik yang diadakan oleh LeIP dengan tema “Masa Depan KPK Pasca Putusan Judicial Review UU KPK” pada tanggal 28 Februari 2005 , di Hotel Aryaduta Jakarta.
[2] Penulis adalah Pjs. Direktur Eksekutif Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP).
[3] Paragraf ini jika dibaca secara seksama akan terasa janggal jika setelah kata ‘KPK’ tidak disisipi kata ‘hanya’. Penulis menduga hal ini terjadi karena adanya kekhilafan dalam pengetikan.
[4] Pengecualian atas kejahatan yang bersifat extra ordinary dapat dalam UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Dalam UU tersebut diperbolehkan pemeriksaan dan penhukuman atas kejahatan HAM Berat yang terjadi sebelum disahkannya UU No. 26/2000 tersebut dengan menggunakan UU tersebut dengan ketentuan khusus, yaitu dengan menggunakan mekanisme Pengadilan HAM Ad Hoc yang pembentukannya harus disetujui terlebih dahulu oleh DPR.
[5] Purbacaraka, Purnadi, & Soerjono Soekanto, “Perundang-Undangan dan Yurisprudensi”, Bahan PTHI, (Bandung:PT. Citra Aditya Bakti, 1993) Hal. 7.
[6] Ibid. hal. 8
[7] Lihat Lampiran

Kewenangan KPK

Kewenangan KPK dalam Menangani Korupsi Sebelum Tahun 2003
Antara Putusan Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung

Arsil[1]

Dorongan bagi KPK saat ini semakin keras untuk mengambil alih kasus-kasus dugaan tindak pidana korupsi terkait dengan BLBI, khususnya sejak Kejaksaan menghentikan penyelidikan (kasus?) pada tanggal 29 Februari 2008 yang lalu serta tertangkap tangannya Ketua Tim 35 Kejaksaan UTG.

Saat ini memang masih terdengar kabar-kabar yang berpendapat bahwa KPK tidak dapat menangani kasus BLBI, khususnya yang terjadi sebelum 2002, maupun kasus-kasus korupsi besar lainnya yang terjadi sebelum tahun 1999, hal ini terkait dengan dua hal, pertama Pertimbangan Hukum Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Hak Uji Materil-nya No. 069/PUU-II/2004 dan kedua ketentuan dalam Pasal 1 angka 2 UU No. 30/2002 tentang KPTPK. Terlepas dari apakah KPK sependapat dengan hal tersebut atau tidak, namun sejak diputusnya permohonan Hak Uji materil yang diajukan oleh Bram Manopo tersebut memang tidak pernah lagi terlihat kiprah KPK dalam menangani kasus korupsi yang terjadi (tempus delicti) sebelum berlakunya UU KPK (2002) atau bahkan sebelum terbentuknya KPK (2003).

Atas pendapat-pendapat tersebut kami perlu merasa perlu untuk memberikan pendapat hukum kami mengenai masalah tersebut.

1. Kewenangan KPK terkait Putusan MK No. 069/PUU-II/2004
Pertimbangan hukum MK yang kontroversial tersebut berbunyi:

Pasal 72 Undang-undang KPK, yang berada di bawah judul bab KETENTUAN PENUTUP, selengkapnya berbunyi, “Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan”. Tanggal pengundangan undang-undang dimaksud adalah 27 Desember 2002. Dengan rumusan Pasal 72 tersebut adalah jelas bahwa Undang-undang KPK berlaku ke depan (prospective), yaitu sejak tanggal 27 Desember 2002. Artinya, keseluruhan undang-undang a quo, hanya dapat diberlakukan terhadap peristiwa pidana yang tempus delicti-nya terjadi setelah undang-undang dimaksud diundangkan. Secara argumentum a contrario, undang-undang ini tidak berlaku terhadap peristiwa pidana yang tempus delicti-nya terjadi sebelum undang-undang a quo diundangkan;
(hal. 70)

Dengan demikian, terlepas dari perbedaan pendapat antara Pemohon, Pemerintah, DPR, dan Para Ahli tentang asas retroaktif apakah meliputi hukum materiil maupun formil, Mahkamah berpendapat bahwa Pasal 68 undang-undang a quo tidak mengandung asas retroaktif, walaupun KPK (hanya –pen) dapat mengambil alih penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana yang dilakukan setelah diundangkannnya Undang-undang KPK (vide Pasal 72) sampai dengan terbentuknya KPK (vide Pasal 70), sebagaimana telah diuraikan di atas; [2]
(hal. 73)
(cetak tebal dari penulis)

Permohonan Hak Uji Materil ini diajukan oleh Bram Manopo yang (pada saat itu) merupakan terdakwa Korupsi bersama-sama dengan Mantan Gubernur NAD Abdullah Puteh (dalam dakwaan terpisah). Putusan MK tersebut diputus oleh MK sebelum Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi menjatuhkan putusannya baik terhadap Bram Manopo sendiri maupun Abdullah Puteh. Tak lama setelah Putusan MK tersebut dijatuhkan Pengadilan Tipikor menjatuhkan putusannya, yang pada intinya menghukum keduanya. Dari putusan yang menghukum tersebut terlihat bahwa Pengadilan Tipikor tetap menganggap bahwa KPK tetap berwenang untuk menangangi perkara korupsi yang tempus delictinya terjadi sebelum berdirinya KPK, atau dengan kata lain Pengadilan Tipikor tidak sependapat dengan pendapat hukum MK sebagaimana dikutip diatas. Dalam tingkat banding terjadi hal yang sama, Pengadilan Tinggi tetap menghukum terdakwa walapun terdakwa telah membawa putusan MK tersebut sebagai bagian dari memori bandingnya.

Selanjutnya dalam tingkat kasasi Abdullah Puteh kembali mengajukan pertimbangan hukum MK sebagai salah satu alasan dalam memori kasasinya. Namun atas alasan tersebut Mahkamah Agung melalui putusannya no. 1334 K/Pid/2005 berpendapat lain, dalam pertimbangan hukumnya di halaman 80-82 Mahkamah Agung berpendapat:

“ Menimbang bahwa dengan adanya pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi khususnya pasal 72 Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang pemberlakuan Undang-Undang aquo, pertimbangan mana menimbulkan pro dan kontra antara ahli hukum yang dapat berimplikasi negatif terhadap penerapan Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi, Mahkamah Agung memandang perlu mempertimbangkan apakah Mahkamah Konstitusi berwenang memberikan pertimbangan atas pasal 72 Undang-Undang No. 30 Tahun 2002, mengingat pertimbangan tersebut, menimbulkan penafsiran sebagai pendapat Mahkamah Konstitusi…dst” (hal. 80)

“ Menimbang, bahwa dengan menunjuk pertimbangan Mahkamah Konstitusi khususnya pertimbangan mengenai Pasal 72 Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang KPK berlaku kedepan (prospective) sekalipun diakui bahwa masalah penerapan Undang-Undang bukan wewenang Mahkamah Konstitusi dihubungkan dengan wewenang Mahkamah Konstitusi sebagaimana ditetapkan dalam pasal 23 c ayat (1) dan (2) Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945 jo pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Agung berpendapat bahwa pertimbangan tersebut diatas adalah berlebihan (overbodig), kontradiktif dan melampaui batas wewenangnya serta dapat menghambat upaya percepatan upaya pemberantasan tindak pidana korupsi;
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan hukum mengenai wewenang Mahkamah Konstitusi sebagaimana diatur dalam pasal 24 C ayat (1) dan (2) Undang-Undang-Undang Dasr Negara RI 1945 jo pasal 10 ayat (1), (2), pasal 56 ayat (3) dan (5), pasal 57 ayat (1) Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 dihubungkan dengan pertimbangan-pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi dalam putusannya Nomor : 069/PUU/II/2004, Judex Factie telah dengan tepat dan benar mengadili perkara a quo menurut ketentuan Undang-Undang. Berdasarkan pertimbangan tersebut keberatan-keberatan kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi/Terdakwa huruf B butir 4 sampai dengan 16 tidak dapat dibernarkan, karena tidak beralasan menurut hukum;” (hal. 81-82)
(cetak tebal dari penulis)

Dari pertimbangan hukum Mahkamah Agung terlihat jelas bahwa Mahkamah Agung tidak sependapat dengan pendapat hukum Mahkamah Konstitusi mengenai tidak berwenangnya KPK dalam menangani perkara korupsi yang terjadi sebelum 2002. Dengan ditolaknya argumentasi Pemohon Kasasi yang mendalilkan bahwa Pengadilan Tinggi Tipikor salah menerapkan hukum dengan mendasarkan diri pada Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut maka hal ini berarti Pengadilan Tipikor berwenang mengadili perkara yang diajukan oleh KPK yang tempus delicti-nya terjadi sebelum berlakunya UU KPK, dan oleh karenanya hal tersebut berarti juga bahwa KPK dapat mengusut perkara korupsi yang demikian.


2. Kewenangan KPK untuk Memeriksa Korupsi yang Terjadi Sebelum Tahun 1999

Permasalahan hukum lain selain masalah diatas yang sering mengemuka adalah pertanyaan apakah KPK berwenang atau tidak mengusut tindak pidana korupsi yang terjadi sebelum tahun 1999. Atas masalah ini sebagian kalangan berpendapat (yang sayangnya pendapat ini cukup dominan) bahwa KPK tidak berwenang dikarenakan kewenangan KPK berdasarkan Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 dibatasi hanya berdasarkan UU No. 31 Tahun 1999 dan UU No. 20 Tahun 2001 yang artinya KPK tidak berwenang untuk mengusut Tipikor yang masih menggunakan UU No. 3 Tahun 1971.

Apakah pendapat ini tepat?

Jika dilihat lebih jauh, pendapat tersebut melandaskan diri pada ketentuan dalam Pasal 1 angka 1 UU No. 30 Tahun 2002. Pasal tersebut berbunyi:

Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Tindak Pidana Korupsi adalah tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Dari ketentuan tersebut sekilas memang terkesan bahwa KPK tidak berwenang untuk mengadili perkara yang terjadi sebelum berlakunya UU No. 31 Tahun 1999 atau yang masih menggunakan UU No. 3 Tahun 1971, karena tidak ada satu pun ketentuan dalam UU KPK yang menyinggung-nyinggung mengenai UU No. 3 Tahun 1971 tersebut.

Namun apabila kita telusuri lebih jauh UU Tipikor khususnya UU No. 20 Tahun 2001, khususnya dalam pasal 43A terlihat bahwa yang dimaksud dengan Tindak Pidana Korupsi tidak hanya yang perbuatan-perbuatan pidana yang diatur dalam UU No. 31 Tahun 1999 dan UU No. 20 Tahun 2001 namun juga perbuatan-perbuatan yang diatur dalam UU No. 3 Tahun 1971 apabila perbuatan tersebut terjadi sebelum berlakunya UU No. 31 Tahun 1999.

Selengkapnya Pasal 43A tersebut berbunyi:
Pasal 43A
Tindak pidana korupsi yang terjadi sebelum Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi diundangkan, diperiksa dan diputus berdasarkan ketentuan Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dengan ketentuan maksimum pidana penjara yang menguntungkan bagi terdakwa diberlakukan ketentuan dalam Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, dan Pasal 10 Undang-undang ini dan Pasal 13 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Jadi dengan mendasarkan diri pada “pintu” yang “dibuka” oleh pasal 43A UU No. 20 Tahun 2001 tersebut maka secara hukum KPK berwenang juga untuk mengadili perkara Tindak Pidana Korupsi yang terjadi sebelum berlakunya UU No. 31 Tahun 1999.


3. Beberapa Catatan Lain Terkait dengan Putusan Mahkamah Konstitusi (Unsur Melawan Hukum)

UU Tindak Pidana Korupsi dan UU KPK merupakan UU yang cukup sering di uji di Mahkamah Konstitusi. Selain pada Putusan MK No. 069/PUU-II/2004, putusan Mahkamah Konstitusi lainnya yang juga cukup kontroversial dan menarik perhatian publik adalah putusan No. 003/PUU-IV/2006 yang menyatakan penjelasan pasal 2 khususnya penjelasan mengenai unsur ‘secara melawan hukum’ tidak lagi memiliki kekuatan hukum yang mengikat.

Putusan tersebut dinilai oleh banyak kalangan dapat menghambat pemberantasan tindak pidana korupsi, karena hal ini berarti untuk dapat dianggap melawan hukum maka harus dibukitkan adanya pelanggaran hukum tertulis. Namun, mengenai hal ini menarik jika melihat bagaimana Mahkamah Agung berpendapat mengenai apakah unsur “hukum” harus diartikan sebagai hukum tertulis paska diputusnya Putusan MK tersebut.

Setidaknya, setelah putusan MK tersebut Mahkamah Agung telah mengeluarkan 2 Putusannya dimana didalamnya terdapat masalah pengertian unsur melawan hukum dalam pasal 2 UU Tipikor, yaitu pada putusan MA No. 2214 K/PID/2006 dengan terdakwa H. Hamid Djiman di halaman 85-87 menyatakan sebagai berikut :

Menimbang, bahwa mengenai pengertian “ melawan hukum “ dalam tindak pidana korupsi Mahkamah Agung adalah berpendapat sebagai berikut :
1. bahwa Mahkamah Agung tetap memberi makna “perbuatan melawan hukum” yang dimaksud dalam pasal 2 ayat 1 Undang-Undang No.31 tahun 1999, baik dalam arti formil maupun dalam arti materil, walaupun oleh putusan Mahkamah Konstitusi tanggal 25 Juli 2006, No.003 / PUU-IV / 2006 penjelasan Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang No.20 tahun 2001 jo Undang-Undang No.31tahun 1999 telah dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 dan telah pula dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat

2. bahwa memperhatikan butir 1 tersebut, maka Mahkamah Agung dalam memberi makna unsur “secara melawan hukum” dalam Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang No.20 Tahun 2001 jo Undang-Undang No.31 Tahun 1999 akan memperhatikan doktrin dan Yurisprudensi Mahkamah Agung yang berpendapat bahwa unsur “secara melawan hukum” dalam tindak pidana korupsi adalah mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti materil dan mengenai perbuatan melawan hukum dalam arti materiil yang meliputi fungsi positif dan negatifnya

3. bahwa Yurisprudensi dan doktrin merupakan sumber hukum formil selain Undang-Undang dan kebiasaan serta traktat yang dapat digunakan oleh Mahkamah Agung dalam kasus konkrit yang dihadapinya, Yurisprudensi tentang makna perbuatan melawan hukum dalam arti formil dan dalam arti materiil harus tetap dijadikan pedoman untuk terbinanya konsistensi penerapannya dalam perkara-perkara tindak pidana korupsi, karena sudah sesuai dengan kesadaran hukum dan perasaan hukum yang sedang hidup dalam masyarakat, kebutuhan hukum warga masyarakat, nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat


Dalam perkara lainnya, Mahkamah Agung kembali memberikan pertimbangan hukum atas unsur melawan hukum yang serupa dengan pertimbangan di atas, yaitu dalam perkara No. 2608-K-Pid/2006 dengan terdakwa Achmad Rojadi (Kasus KPU). Dalam halaman 94-96 putusan tersebut Mahkamah Agung menyatakan:



“Selain itu sehubungan dengan keberatan tersebut tidak berkelebihan apabila dikemukakan pendirian Mahkamah Agung yang tetap memberi makna ”perbuatan melawan hukum” yang tercantum dalam Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang N0.31 tahun 1999, baik dalam arti formil maupun dalam arti materil, walaupun oleh putusan Mahkamah Konstitusi tanggal 25 Juli 2006,
No.003/PUU-IV/2006 Penjelasan Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang No.20 tahun 2001 jo Undang-Undang No.31 tahun 1999 telah dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 dan telah pula dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, mengingat alasanalasan sebagai berikut :
bahwa dengan dinyatakannya penjelasan Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang No.20 tahun 2001 jo Undang-Undang No.31 tahun 1999 sebagai bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 dan telah dinyatakan pula tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,maka yang dimaksud dengan unsur ”melawan hukum” dalam Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang tersebut menjadi tidak jelas rumusannya, oleh karena itu berdasarkan doctrine ”Sens-Clair (la doctrine du senclair) hakim harus melakukan penemuan hukum dengan memperhatikan :
a. bahwa Pasal 28 ayat 1 Undang-Undang No.4 Tahun 2004 yang menentukan ”Hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”, karena menurut pasal 16 ayat 1 Undang-Undang No.4 tahun 2004, ”Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib memeriksa dan mengadilinya”;
b. bahwa Hakim dalam mencari makna ”melawan hukum” seharusnya mencari dan menemukan kehendak publik yang bersifat unsur pada saat ketentuan tersebut diberlakukan pada kasus konkrit (bandingkan M. Yahya Harahap, SH., Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP, Edisi Kedua, halaman 120);
c. bahwa Hamaker dalam keterangannya Het recht en de maatschappij dan juga Recht, Wet en Rechter antara lain berpendapat bahwa hakim seyogianya mendasarkan putusannya sesuai dengan kesadaran hukum dan penerapan hukum yang sedang hidup didalam masyarakat ketika putusan itu dijatuhkan. Dan bagi I.H. Hymans (dalam keterangannya : Het recht der werkelijkheid), hanya putusan hukum yang sesuai dengan kesadaran hukum dan kebutuhan hukum warga masyarakatnya yang merupakan ”hukum dan makna sebenarnya” (Het recht der werkelijkheid
d. (lihat Prof. Dr. Achmad Ali. SH. MH. Menguak tibir hukum (suatu kajian Filosofis dan Sosiologis). Cetakan ke.II (kedua), 2002, hal.140);
e. bahwa ”apabila kita memperhatikan Undang-Undang, ternyata bagi kita, bahwa Undang-Undang tidak saja menunjukan banyak kekurangankakurangan, tapi seringkali juga tidak jelas. Walaupun demikian hakim harus melakukan peradilan. Teranglah, bahwa dalam hal sedemikian Undang-Undang memberi kuasa kapada hakim untuk menetapkan sendiri maknanya ketentuan Undang-Undang itu atau artinya suatu kata yang tidak jelas dalam suatu ketentuan Undang-Undang. Dan hakim boleh menafsir suatu ketentuan Undang-Undang secara gramatikal atau histories baik ”recht maupun wetshistoris” (Lie Oen Hok, Jusprudensi sebagai Sumber Hukum, Pidato diucapkan pada waktu peresmian Pemangkuan Jabatan Guru Basar Luar Biasa dalam Ilmu Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia pada Fakultas Hukum dan Pengetahuan Masyarakat di Universitas Indonesia di Jakarta, pada tanggal 19 September 1959, hlm.11.)


Kesimpulan

Berdasarkan paparan di atas maka kesimpulan yang dapat diambil adalah:
KPK secara hukum dapat melakukan tindakan penyelidikan, penyidikan maupun penuntutan atas perkara-perkara Tindak Pidana Korupsi yang terjadi sebelum berlakuknya UU KPK bahkan sebelum berlakunya UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001.
Untuk membuktikan unsur melawan hukum KPK tetap dapat menggunakan doktrin Ajaran Melawan Hukum Materil dalam Fungsi Positif maupun Yurisprudensi Mahkamah Agung.


Sekian, semoga bermanfaat.


[1] Penulis adalah Wakil Direktur Eksekutif Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP).
[2] Paragraf ini jika dibaca secara seksama akan terasa janggal jika setelah kata ‘KPK’ tidak disisipi kata ‘hanya’. Penulis menduga hal ini terjadi karena adanya kekhilafan dalam pengetikan.

Dampak Putusan MK Atas Hak Uji Materil UU No. 31/1999

Dampak Putusan MK Atas Hak Uji Materil UU No. 31/1999


Putusan Mahkamah Konstitusi yang memutus permohonan Hak Uji Materil UU No. 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi sebagaimana yang telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 memang cukup menarik perhatian publik. Putusan tersebut bahkan sempat mendapat tanggapan dari Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh yang juga merupakan mantan Hakim Agung yang menyayangkan isi putusan MK tersebut.

Putusan ini diawali dengan permohonan Hak Uji materil yang diajukan oleh Pemohon Ir. Dawud Djatmiko yang memohonkan agar kata “dapat” sebelum kata-kata “…merugikan keuangan negara…” dalam pasal 2 dan 3 UU No. 31/1999 dinyatakan bertentangan dengan konstitusi. Terhadap permohonan tersebut MK tidak sependapat, atau menolak permohonan pemohon untuk menghapuskan kata “dapat” tersebut, namun diluar dugaan ternyata MK justru memutus hal yang tidak dimohonkan secara eksplisit oleh pemohon, yaitu menyatakan kalimat dalam penjelasan pasal 2 ayat (1) tidak lagi memiliki kekuatan hukum mengikat, yang selengkapnya berbunyi:
“Yang dimaksud dengan secara melawan hukum dalam pasal ini mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti materil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana.”

Bunyi pasal 2 ayat (1) selengkapnya sebagai berikut:

Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000 (dua ratus juga rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah). (cetak miring –penulis)

Yang kini menjadi pertanyaan adalah apa dampak yang akan atau mungkin timbul dari ‘dihapuskannya’ penjelasan pasal tersebut? Untuk menjawab pertanyaan ini maka perlu diutarakan terlebih dahulu apa sebenyarnya melawan hukum dalam arti formal dan dalam arti material.

Suatu perbuatan yang melawan hukum formal yaitu segala perbuatan-perbuatan yang melanggar suatu ketentuan perundang-undangan, baik undang-undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Daerah dll. Intinya adalah segala peraturan tertulis serta formal yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan untuk membuat peraturan tersebut. Disini maka hukum dipandang (semata-mata) sebagai peraturan, khususnya peraturan tertulis dari negara. Sementara yang dimaksud dengan melawan hukum materil adalah perbuatan yang bertentangan dengan hukum secara materil, atau melihat hukum dari sudut pandang esensi hukum itu sendiri, bukan bentuknya (form).

Dalam melawan hukum formil “vs” materil, makna melawan hukum materil menjadi lebih spesifik lagi, yaitu suatu perbuatan dapat dikatakan melawan hukum jika perbuatan tersebut tercela (menurut ukuran masyarakat) karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma masyarakat, walaupun sebenarnya tidak ada peraturan perundang-undangan yang dilanggar. Dalam hukum pidana pengertian ini adalah pengertian melawan hukum materil dalam fungsi positif, atau yang biasa disebut dengan Ajaran melawan hukum materil dalam fungsi positif, yang dibedakan dari ajaran melawan hukum dalam fungsi negatif.

Tentang ajaran Melawan hukum materil dalam fungsi negatif merupakan ajaran yang menyatakan bahwa seseorang yang melanggar suatu ketentuan hukum pidana dapat tidak dipidana jika sifat melawan hukum dari perbuatan tersebut tidak ada, atau menurut norma masyarakat perbuatan tersebut bukan merupakan suatu perbuatan yang dapat dikategorikan sebagai perbuatan pidana (kejahatan atau pelanggaran)[1]. Contoh penerapan ajaran ini misalnya dalam suatu masyarakat penculikan anak perempuan untuk kemudian dinikahkan bukan merupakan perbuatan tercela, namun bagian dari adat masyarakat setempat. Sementara dalam KUHP penculikan merupakan tindak pidana yang diancam dengan hukuman penjara. Jika seseorang lelaki dari masyarakat tersebut melakukan perbuatan tersebut maka walaupun perbuatannya telah memenuhi unsur-unsur pidana hakim dapat tidak menjatuhkan pidana terhadap lelaki tersebut karena secara materil perbuatan tersebut merupakan bagian dari adat masyarakat tersebut. Dari pengertian ini ajaran melawan hukum materil sebagai dasar/ alasan penghapus pidana.

Kedua ajaran ini sebenarnya sudah cukup lama diakui keberadaannya, baik dalam ilmu hukum pidana yang berkembang di Indonesia maupun dalam praktek peradilan. Putusan-putusan Mahkamah Agung yang menerapkan ajaran melawan hukum materil dalam fungsi negatif misalnya dalam kasus Machroes Effendie pada tahun 1966, kasus Ir. Mochamad Otjo Danaatmadja pada tahun 1977, dan kasus Mohammad Toha Iljas pada tahun 1972 . Sementara putusan Mahkamah Agung yang menerapkan ajaran melawan hukum dalam fungsi positif misalnya dalam kasus Natalegawa pada tahun 1983, kasus Ir. Paulus Hidayat bin Srihono Cokrodiharjo pada tahun 1993, serta yang terakhir yaitu kasus Akbar Tandjung pada tahun 2003.[2]

Selain dalam doktrin serta yurisprudensi MA, diakuinya ajaran melawan hukum dalam fungsi positif juga sebenarnya sudah diakui sejak tahun 1971, yaitu sejak diundangkannya UU No. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pada UU ini dalam penjelasan umumnya dikatakan bahwa pengertian melawan hukum tidak hanya dalam artian melawan hukum formil, namun juga materil. Jadi ditinjau dari sudut kebaruan sebenarnya penjelasan pasal 2 ayat (1) UU No. 31/1999 sebenarnya tidak sama sekali baru, namun hanya menarik ketentuan dalam Penjelasan Umum UU No. 3/1971 ke penjelasan atas batang tubuh.

Sebagai sebuah doktrin, ajaran melawan hukum dalam fungsi positif dalam ilmu hukum pidana sebenarnya tidak hanya ditujukan atau dimaksudkan khusus untuk tindak pidana korupsi saja, namun dapat diterapkan untuk semua tindak pidana yang mana dalam rumusan pasalnya memasukkan unsur melawan hukum sebagai salah satu unsur tindak pidananya. Yurisprudensi Mahkamah Agung yang menerapkan ajaran ini dalam perkara selain korupsi misalnya dalam perkara Ir. Paulus Hidayat bin Srihono Cokrodiharjo. Dalam perkara ini tindak pidana yang didakwakan bukanlah korupsi namun penggelapan (Ps. 372 KUHP).

Yang menjadi pertanyaan kini adalah apakah putusan MK hanya bermakna bahwa MK hanya mencabut penjelasan pasal 2 ayat (1) semata, ataukah MK juga secara implisit ingin menyatakan bahwa ajaran melawan hukum materil baik sebagai doktrin maupun sebagai yurisprudensi bertentangan dengan konstitusi, khususnya asas kepastian hukum (pasal 28 D ayat (1))? Maksud MK serta pemaknaan atas hal ini memiliki konsekuensi yang sangat berbeda, baik dalam pemberantasan korupsi maupun tindak pidana pada umumnya.

Jika putusan tersebut dimaknai dalam kerangka yang kedua, yaitu MK memang bermaksud menyatakan bahwa tidak hanya penjelasan pasal 2 ayat (1) saja yang dinyatakan bertentangan dengan konstitusi, namun doktrin-doktrin serta yurisprudensi MA tersebut juga tidak dapat diterapkan lagi maka hal tersebut berarti akan mempersulit para penegak hukum dan hakim dalam memberantas tidak hanya korupsi namun semua tindak pidana yang mencantumkan ‘melawan hukum’ sebagai salah satu unsur dalam rumusan pasalnya.[3] Penegak hukum harus mencari peraturan perundang-undangan yang dilanggar oleh terdakwa untuk dapat memenuhi unsur melawan hukum tersebut. Padahal sangat disadari bahwa hukum khususnya hukum formal yang dibuat oleh Negara tidak selamanya mencukupi untuk dapat mengatur segala tingkah laku manusia.

Kita ingat misalnya dalam kasus Bulogate dengan terdakwa Akbar Tandjung, Winfried Simatupang, dan Dadang Ruskandar tidak ada peraturan perundangan yang mengatur mengenai pengelolaan dana non-budgeter pada saat itu, terlebih lagi tidak ada peraturan yang mengatur bagaimana pelaksanaan tender yang dilaksanakan oleh pihak ketiga (dalam kasus ini Winfried S dan Dadang R). Namun perbuatan yang dilakukan oleh Terdakwa II dan III tersebut menurut Mahkamah Agung merupakan suatu perbuatan yang tercela, yang bertentangan dengan keharmonisan nilai-nilai sosial. Atas dasar tersebut maka kemudian Mahkamah Agung menyatakan terhadap terdakwa II dan III tersebut unsur melawan hukum dinyatakan terbukti. Seandainya hukum dalam unsur melawan hukum hanya ditafsirkan terbatas pada hukum formal –peraturan tertulis yang dibuat oleh Negara, maka tentunya terhadap tindakan-tindakan seperti yang terjadi dalam kasus Bulogate tidak akan dapat dijerat.

Jika putusan MK dimaknai semata hanya sebagai ‘penghapusan’ atas penjelasan pasal 2 ayat (1) UU No. 31/1999 maka menjadi pertanyaan, dengan demikian apa yang dimaksud dengan ‘hukum’ dalam unsur ‘secara melawan hukum’? Apakah semata hukum formil, ataukah juga hukum materil? Dalam hal ketidakjelasan penafsiran suatu unsur dalam ilmu hukum maka sudah menjadi pengetahuan umum bahwa metode penafsiran hukum yang ada (gramatikal, sistematikal, teleologis, historis dll) berlaku. Selain itu penafsiran-penafsiran yang dilakukan oleh pakar-pakar hukum (doktrin) dapat dipergunakan, serta penafsiran yang dilakukan oleh Mahkamah Agung dalam putusan-putusan terdahulu (yurisprudensi) dapat juga dipergunakan. Secara sistematis, oleh karena dalam Penjelasan Umum UU No. 31/1999 disebutkan:
“...pengertian melawan hukum dalam tindak pidana korupsi dapat pula mencakup perbuatan-perbuatan tercela yang menurut rasa keadilan masyarakat harus dituntut dan dipidana.”[4]
maka berarti yang dimaksud ‘hukum’ dalam unsur ‘melawan hukum’ dalam pasal 2 ayat (1) dan juga dalam pasal 12e UU No. 20/2001 berarti termasuk juga hukum dalam artian materil. Dengan demikian maka hal tersebut berarti putusan MK tersebut secara esensial tidak akan memiliki dampak pada (khususnya) pemberantasan korupsi.

Untuk melihat bagaimana seharusnya kita memaknai putusan MK maka penting bagi kita untuk mengetahui sejauh mana kewenangan yang dimiliki oleh MK dalam melakukan Uji Materil terhadap suatu Undang-Undang. Dalam pasal 10 ayat 1 UU No. 24/2003 disebutkan bahwa MK berwenang untuk menguji UU terhadap UUD 1945. Pertanyaannya adalah apakah kewenangan tersebut dapat dapat dijalankan oleh MK secara serta merta (tanpa adanya permohonan) ataukah harus melalui suatu permohonan yang diajukan oleh pemohon? Jika melihat pada pasal 56 ayat 1 s/d 5 UU MK yang mengatur mengenai putusan MK atas Hak Uji, serta melihat pada Peraturan MK No. 06/PMK/2006 tentang Pedoman Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang maka terlihat bahwa MK hanya berwenang menyatakan suatu UU bertentangan atau tidak dengan Konstitusi hanya jika adanya permohonan. Selain itu jika merujuk pada pasal 57 ayat 1 UU MK dan PMK No. 6 maka yang dapat dinyatakan bertentangan dengan Konstitusi dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat adalah apa yang dinyatakan oleh MK dalam putusannya. Yang hal tersebut berarti MK tidak memiliki kewenangan menyatakan UU atau pasal dari suatu UU yang tidak dimintakan dan dinyatakan secara tegas dalam putusan MK sendiri tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Terlebih lagi, hal tersebut berarti MK tidak memiliki kewenangan untuk menyatakan suatu yurisprudensi apalagi doktrin bertentangan dengan konstitusi.

Menurut pendapat saya, mengingat MK hanya menyatakan bahwa yang dinyatakan tidak mengikat adalah penjelasan pasal 2 ayat (1), maka berarti Penjelasan Umum UU 31/1999 tetap berlaku, dan yurisprudensi MA seperti dalam kasus Natalegawa dll masih dapat dipergunakan. Atau dengan kata lain putusan MK harus dimaknai dalam kerangka pertama, bukan dalam kerangka bahwa tidak hanya penjelasan pasal 2 ayat (1) saja yang dinyatakan bertentangan dengan konstitusi, namun doktrin-doktrin serta yurisprudensi MA tersebut juga tidak dapat diterapkan lagi.

Kini menjadi pertanyaan terakhir, apakah para penegak hukum akan memaknai putusan MK seperti pendapat saya di atas, ataukah memaknainya seperti wacana yang berkembang di masyarakat saat ini, bahwa putusan MK merupakan hari besar para koruptor? Hanya waktu yang akan menjawab. Saya hanya dapat berharap bahwa para penegak hukum dan hakim tidak terjebak dengan putusan MK tersebut.


* Penulis adalah Wakil Direktur Eksekutif Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP), Organisasi Non-Pemerintah yang memfokuskan diri pada isu-isu pembenahan peradilan.
[1] Dalam hukum pidana Indonesia tindak pidana dibagi menjadi 2 kategori besar, yaitu Kejahatan, yaitu perbuatan-perbuatan yang dilarang dan diatur dalam Buku II KUHP, dan Pelanggaran, yaitu perbuatan-perbuatan yang dilarang dan diatur dalam Buku III KUHP. KUHP sendiri terdiri dari 3 buku, Buku I mengatur tentang ketentuan umum.
[2] Pada kasus Akbar Tandjung khususnya pada pertimbangan MA terhadap Terdakwa II dan Terdakwa III. Dalam kasus ini Mahkamah Agung sangat tidak konsisten, karena untuk Akbar Tandjung MA menolak untuk menerapkan ajaran melawan hukum materil dalam fungsi positif ini namun terhadap Terdakwa II dan III MA justru menerapkannyal.
[3] Tidak semua pasal di KUHP mencantumkan ‘melawan hukum’ sebagai salah satu unsur dalam pasal, menurut Van Schravendijk (Utrecht I hal. 273) hanya ada sekitar 10% pasal di KUHP yang mencantumkannya sebagai unsur delik yang harus dibuktikan.
[4] Penjelasan Umum UU No. 31/1999 alinea 5.

Pengadilan-Pengadilan Khusus di Indonesia

Pengadilan-Pengadilan Khusus di Indonesia



1. Pendahuluan

Pengadilan khusus sebenarnya bukan merupakan barang baru di dunia peradilan Indonesia. Tercatat setidaknya 2 (dua) pengadilan khusus telah pernah berdiri sebelum masuknya era reformasi, yaitu Pengadilan Ekonomi (UU Darurat No. 7 Tahun 1955), dan Pengadilan Anak (UU No. 3 Tahun 1997). Setelah masuknya era reformasi yang diawali dengan krisis moneter pengadilan khusus mulai banyak didirikan. Pengadilan khusus yang pertama di era ini adalah Pengadilan Khusus Niaga yang diatur dalam Perpu No. 1 Tahun 1998 yang kemudian diundangkan dengan UU No. 4/1998. Kemudian Pengadilan Pajak (UU No. 14 Tahun 2000), Pengadilan Khusus HAM (UU No. 26 Tahun 2000), Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi (UU No. 30 Tahun 2002), Pengadilan Khusus Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (Pengadilan PPHI) (UU No. 2 Tahun 2004) dan yang terakhir yaitu Pengadilan Khusus Tindak Pidana Perikanan (UU No. 31 Tahun 2004).


2. Dasar Hukum Pengadilan Khusus

Dalam setiap UU yang mengatur mengenai Kekuasaan Kehakiman, baik UU No. 19 Tahun 1964, UU No. 14 Tahun 1970 maupun UU No. 4 Tahun 2000[1], telah diatur mengenai Pengadilan Khusus dan Peradilan Khusus, hanya saja dalam setiap UU tersebut terdapat derajat ketegasan pengaturan yang berbeda-beda. Dalam UU No. 19/1964 pengaturan mengenai Pengadilan Khusus tidak terlalu jelas. Dalam Batang Tubuh UU tersebut sama sekali tidak disebutkan mengenai keberadaan Pengadilan Khusus, satu-satunya pengaturan yang mengindikasikan dapat dibentuknya Pengadilan Khusus atau spesialisasi dalam salah satu lingkungan peradilan terdapat dalam bagian penjelasan. Dalam penjelasan pasal 7 ayat (1) UU No. 19/1964 disebutkan:

(1) Undang-undang ini membedakan antar Peradilan Umum, Peradilan Khusus dan Peradilan Tata-Usaha Negara.
Peradilan Umum antara lain meliputi pengadilan Ekonomi, Pengadilan Subversi, Pengadilan Korupsi.
Peradilan Khusus terdiri dari Pengadilan Agama dan Pengadilan Militer. Yang dimaksudkan dengan Peradilan Tata-Usaha Negara adalah yang disebut "peradilan administratif" dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara No. II/MPRS/1960, dan antara lain meliputi juga yang disebut "peradilan kepegawaian" dalam pasal 21 Undang-undang No. 18 tahun 1961 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kepegawaian (Lembaran-Negara tahun 1961 No. 263; Tambahan Lembaran-Negara No.2312).

Dari ketentuan tersebut dapat ditafsirkan bahwa Pengadilan Khusus dapat dibentuk hanya dalam lingkungan Peradilan Umum. Yang menjadi masalah adalah UU tersebut tidak mengatur peraturan perundang-undangan dalam tingkatan apa yang diperlukan untuk membentuk Pengadilan-Pengadilan Khusus tersebut, hal ini berdampak pada siapa atau lembaga apa yang mempunyai kewenangan untuk membentuk Pengadilan Khusus. Selain itu pengaturan tersebut juga tidak memperlihatkan apa fungsi dari pembentukan Pengadilan Khusus.

Berbeda dengan UU No. 19/1964 tersebut, UU No. 14/1970 yang menggantikan UU tersebut kemudian mengatur sedikit lebih jelas mengenai Pengadilan Khusus, walaupun tetap pengaturannya masih dalam bagian penjelasan UU, bukan dalam Batang Tubuh. Dalam penjelasan pasal 10 ayat (1) disebutkan:

(1) Undang-undang ini membedakan antara empat lingkungan peradilan yang masing-masing mempunyai lingkungan wewenang mengadili tertentu dan meliputi Badan-badan Peradilan tingkat pertama dan tingkat banding.
Peradilan Agama, Militer dan Tata Usaha Negara merupakan peradilan khusus, karena mengadili perkara-perkara tertentu atau mengenai golongan rakyat tertentu, sedangkan Peradilan Umum adalah peradilan bagi rakyat pada umumnya mengenai baik perkara perdata, maupun perkara pidana.
Perbedaan dalam empat lingkungan peradilan ini, tidak menutup kemungkinan adanya pengkhususan (differensiasi/spesialisasi) dalam masing-masing lingkungan, misalnya dalam Peradilan Umum dapat diadakan pengkhususan berupa Pengadilan lalu lintas, Pengadilan Anak-anak, Pengadilan Ekonomi, dan sebagainya dengan Undang-undang.

Dari ketentuan di atas terlihat bahwa pengaturan mengenai Pengadilan Khusus sudah relatif lebih tegas dari peraturan sebelumnya. Ketentuan ini membuka pintu untuk dibentuknya Pengadilan-Pengadilan Khusus disemua lingkungan peradilan, tidak terbatas hanya pada Peradilan Umum semata. Pengaturan mengenai peraturan perundang-undangan apa yang dibutuhkan untuk membentuk pengadilan khusus tersebut juga sudah cukup jelas, yaitu Undang-Undang. Jika diperbandingkan kedua UU tersebut juga terlihat bahwa dalam hal Lingkungan Peradilan sendiri terjadi perubahan-perubahan, jika sebelumnya lingkungan peradilan dibagi menjadi 3 bagian, yaitu Peradilan Umum, Peradilan Khusus -yang terdiri dari Peradilan Agama dan Peradilan Militer-, dan Peradilan TUN, UU No. 14/1970 membaginya hanya menjadi 2, yaitu Peradilan Umum dan Peradilan Khusus yang mana Peradilan Agama, TUN dan Militer digolongkan sebagai Peradilan Khusus.

Akan tetapi walaupun UU No. 14 Tahun 1970 membuka kemungkinan diadakannya pengkhususan pada setiap lingkungan peradilan hal itu ternyata tidak tercermin dalam UU yang mengatur mengenai masing-masing lingkungan peradilan. Dari 4 UU yang mengatur mengenai Badan Peradilan, UU yang menyatakan dalam lingkungan peradilannya dapat diadakan pengkhususan hanyalah UU No. 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum, sementara dalam 3 UU badan peradilan lainnya seperti UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan TUN, UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dan UU No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer sama sekali tidak menyebutkan satu kata pun mengenai hal ini. Hal ini tentunya menimbulkan satu pertanyaan, apakah dalam ketiga Badan Peradilan tersebut dapat dibentuk pengadilan khusus atau pengkhususan atau tidak.

Tidak diaturnya mengenai pengadilan khusus dalam 3 badan peradilan tersebut tampaknya memang bukan tanpa sengaja. Selain pada saat itu memang belum pernah ada pengadilan khusus yang berada dibawah lingkungan peradilan selain Peradilan Umum, 3 badan peradilan lainnya itu sendiri sebenarnya secara inheren sudah dianggap merupakan pengkhususan dari Peradilan Umum sehingga mungkin akan sedikit ganjil jika dalam peradilan khusus tersebut diadakan pengkhususan lagi. Hal ini bisa terlihat dari penjelasan pasal 10 ayat (1) UU No. 14/1970 tersebut.

Terlepas dari perbedaan-perbedaan tersebut, satu hal yang perlu dicatat dari kedua UU tersebut dalam kedua UU tersebut terlihat bahwa istilah Pengadilan Khusus belum dikenal. Istilah Pengadilan Khusus dinyatakan secara tegas baru pada UU No. 4 Tahun 2004 yang menggantikan UU No. 14 Tahun 1970. Dalam UU No. 4/2004 ini posisi Pengadilan Khusus tidak lagi ditempatkan dalam bagian penjelasan UU akan tetapi telah dimasukkan dalam bagian Batang Tubuh.

Pasal 15
(1) Pengadilan khusus hanya dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan peradilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 yang diatur dengan undang-undang.

Penjelasan:
Pasal 15
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan ”pengadilan khusus” dalam ketentuan ini, antara lain, adalah pengadilan anak, pengadilan niaga, pengadilan hak asasi manusia, pengadilan tindak pidana korupsi, pengadilan hubungan industrial yang berada di lingkungan peradilan umum, dan pengadilan pajak di lingkungan peradilan tata usaha negara.

Jika melihat dari perbandingan ketiga UU Kekuasaan Kehakiman di atas tampaknya penegasan pengaturan Pengadilan Khusus dalam bagian Batang Tubuh dilakukan karena pada saat dirumuskannya UU No. 4/2004 tersebut Pengadilan Khusus yang sudah didirikan memang sudah cukup banyak. Hal ini berbeda kondisinya ketika kedua UU sebelumnya dirumuskan, di mana sebelumnya pengadilan khusus yang ada atau pernah ada hanya 1 buah, yaitu Pengadilan Ekonomi.

Ketidakjelasan mengenai apakah dalam lingkungan peradilan selain peradilan umum dapat dibentuk juga pengadilan khusus atau tidak kemudian dijawab dengan dikeluarkannya UU No. 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Dalam pasal 9A UU No. 9/2004 ini akhirnya secara tegas dinyatakan bahwa dalam lingkungan peradilan TUN (juga) dapat dibentuk pengadilan khusus atau pengkhususan. Perubahan ini tampaknya terjadi karena 2 hal, pertama untuk dapat membuat Pengadilan Pajak yang pada awalnya berdasarkan UU didirikan sebagai badan peradilan tersendiri menjadi bagian dari Badan Peradilan TUN. Kedua karena adanya perubahan cara pandang pembuat UU terhadap 3 badan/lingkungan peradilan selain Peradilan Umum yang dulu dianggap sebagai peradilan khusus menjadi tidak lagi dianggap sebagai peradilan khusus.


3. Dasar Pengkhususan

Kini muncul pertanyaan, kebutuhan apa yang diperlukan sebagai syarat pembentukan pengadilan khusus. Mengenai hal ini ternyata baik UU Kekuasaan Kehakiman maupun UU yang mengatur mengenai badan/lingkungan peradilan tidak mengaturnya kecuali bahwa landasan hukumnya haruslah undang undang. Sementara itu jika dilihat dari pengaturan dalam 8 UU yang mengatur Pengadilan Khusus yang ada dan pernah ada dasar pengkhususan dapat dibagi menjadi 2, yaitu pengadilan yang kekhususannya karena hukum materil yang menjadi ruang lingkupnya, dan pengadilan yang kekhususannya karena subjek yang terlibat. Pengadilan khusus yang termasuk dalam kategori pertama yaitu Pengadilan Ekonomi, Pengadilan Niaga, Pengadilan HAM, Pengadilan Pajak dan Pengadilan Perikanan. Pada keenam pengadilan ini kompentensi absolutnya berkaitan dengan objek hukum, dalam pengertian setiap perkara yang termasuk dalam objek hukum tertentu menjadi wewenang pengadilan ini. Pada Pengadilan Ekonomi setiap perkara Tindak Pidana Ekonomi menjadi wewenang Pengadilan Ekonomi, pada pengadilan Niaga setiap perkara Kepailitan, Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dan HAKI merupakan wilayah Pengadilan Niaga. Pada Pengadilan Pajak sengketa pajak yang menjadi ruang lingkupnya. Pada Pengadilan HAM pelanggaran HAM berat, Pengadilan PHI perselisihan hubungan industrial, dan pada Pengadilan Perikanan yaitu Tindak Pidana Perikanan yang diatur dalam UU Perikanan. Tidak ada perkara yang termasuk dalam lingkup hukum tersebut dapat diselesaikan diluar pengadilan-pengadilan khusus tersebut.

Berbeda dari kategori pertama, pada kategori yang menjadi dasar kekhususan adalah subjek yang terlibat. Pada Pengadilan Anak subjek yang menjadi sumber kekhususan adalah tersangka/Terdakwa nya, dalam hal ini anak yang berusia antara 8-18 tahun. Pada Pengadilan Korupsi tidak semua perkara korupsi masuk ke dalam kompententsi absolutnya, hanya perkara korupsi yang penuntutannya dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi saja yang dapat diperiksa dalam pengadilan ini, perkara korupsi yang penuntutannya dilakukan oleh pihak Kejaksaan tetap diperiksa pada pengadilan negeri.

Dilihat dari pengkhususan-pengkhususan tersebut terlihat bahwa Pengadilan Korupsi merupakan pengadilan khusus yang paling berbeda dari yang lainnya. Dasar pengkhususan pada pengadilan ini membuka kemungkinan terjadinya disparitas putusan dalam perkara korupsi antara perkara korupsi yang diperiksa oleh Pengadilan Negeri dengan yang diperiksa oleh Pengadilan Korupsi. Di satu sisi kemungkinan disparitas ini memang mungkin dipandang negatif, akan tetapi di sisi lain hal ini sebenarnya juga bisa dimanfaatkan untuk mendorong kinerja hakim karir; Pengadilan Korupsi yang mayoritas diisi oleh hakim ad hoc dapat menjadi alat ukur apakah asumsi masyarakat bahwa pengadilan / hakim karir sudah sedemikian korupnya benar atau tidak. Jika ternyata dalam perkara korupsi putusan dari Pengadilan Korupsi lebih baik daripada pengadilan negeri umum maka asumsi publik tersebut tentunya bukan isapan jempol belaka, dan pengadilan harus berupaya untuk memperbaiki dirinya kalau tidak ingin kepercayaan publik hilang sepenuhnya.


a. Pengadilan Khusus Sebelum dan Sesudah 1998

Era reformasi ternyata memiliki dampak yang cukup berarti dalam dunia peradilan di Indonesia mulai dari masuknya Hakim-Hakim Agung yang berasal dari kalangan non-hakim atau yang biasa disebut dengan Hakim Agung Non-Karir hingga diterapkannya sistem Satu Atap, yaitu digabungkannya fungsi adminstratif, finansial dan organisatoris yang awalnya berada di bawah Departemen Kehakiman ke Mahkamah Agung. Perubahan lainnya yaitu dengan mulai munculnya Pengadilan-Pengadilan Khusus yang berfungsi untuk memeriksa perkara-perkara tertentu yang ditetapkan undang-undang.

Dalam hal pembentukan Pengadilan Khusus pun era reformasi mempunyai dampak secara khusus. Dampak tersebut tercermin dari mulai diperkenalkannya Hakim Ad Hoc[2] dalam setiap pengadilan-pengadilan khusus yang dibentuk pada era reformasi serta adanya pembatasan jangka waktu pemeriksaan perkara di pengadilan. Faktor yang menyebabkan diaturnya Hakim-Hakim Ad Hoc dan pembatasan jangka waktu ini didorong oleh semakin kurangnya kepercayaan masyarakat terhadap institusi peradilan. Pada masa orde baru hakim karir dipandang kurang independen dihadapan kekuasaan, merebaknya isu korupsi di dunia peradilan juga merupakan faktor yang mengurangi kepercayaan masyarakat tersebut. Faktor menurunnya kepercayaan publik terhadap hakim karir ini kemudian melahirkan hakim ad hoc.

Dalam hal pembatasan jangka waktu faktor utamanya yaitu karena merebaknya anggapan masyarakat yang menyatakan bahwa proses pemeriksaan di pengadilan memakan waktu yang cukup lama. Anggapan ini sebenarnya cukup beralasan khususnya untuk pemeriksaan perkara di tingkat Banding maupun Kasasi, tidak jarang perkara dikedua tingkat tersebut memakan waktu di kedua tahap tersebut. Asas peradilan cepat, sederhana serta murah kemudian hanya menjadi asas di atas kertas semata. Faktor lamanya pemeriksaan perkara di pengadilan tersebut kemudian disikapi oleh pembuat UU dengan jalan memberikan jangka waktu yang pasti pada pengadilan-pengadilan khusus tersebut.

Pengaturan Mengenai Hakim Ad Hoc

Walaupun semua Pengadilan Khusus yang dibentuk setelah 1998 mengatur mengenai hakim ad hoc akan tetapi pengaturan tersebut dalam setiap pengadilan berbeda-beda. Tidak semua Pengadilan Khusus mewajibkan adanya Hakim Ad Hoc. Pengadilan Khusus yang mengatur hakim ad hoc secara fakultatif ada dua, yaitu Pengadilan Niaga dan Pengadilan Pajak. Dalam kedua Pengadilan ini Hakim Ad Hoc dapat diadakan dalam keadaan tertentu. Dalam kedua pengadilan ini pengaturan mengenai hakim ad hoc juga terdapat sedikit perbedaan rumusan pengaturannya. Dalam Pengadilan Pajak disebutkan dengan tegas bahwa hakim ad hoc dapat direkrut jika menyangkut perkara tertentu, sementara dalam Pengadilan Niaga hal tersebut tidak disebutkan dengan tegas, UU hanya menyebutkan pada pengadilan tingkat pertama dapat diangkat seorang ahli sebagai Hakim Ad Hoc. Kesamaan di antara kedua pengadilan ini hakim ad hoc hanya dimungkinkan pada pengadilan tingkat pertama.[3]

Pengadilan Khusus yang mengatur hakim ad hoc sebagai syarat mutlak yaitu Pengadilan HAM, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Pengadilan PPHI, dan Pengadilan Perikanan. Persamaan dari keempat pengadilan ini dalam hal Hakim Ad Hoc yaitu Hakim Ad Hoc diadakan disetiap tingkat pengadilan. Perbedaan dari keempatnya terutama berkaitan dengan persyaratan-persyaratan untuk dapat diangkat menjadi Hakim Ad Hoc.

Mengenai istilah Hakim Ad hoc sendiri sempat menjadi perdebatan, khususnya dalam perancangan Blue Print Pengadilan Tipikor[4], yaitu apakah hakim ad hoc ini akan direkrut berdasarkan perkara –jika ada perkara baru dilakukan rekrutmen dan setelah perkara selesai maka hakim ad hoc tersebut tidak lagi menjabat sebagai hakim – atau direkrut untuk jangka waktu tertentu. Perdebatan ini muncul karena pengertian ad hoc memang pada umumnya dipahami mendekati pendapat yang pertama[5]. Dalam Kamus Kata-Kata Serapan Asing Dalam Bahasa Indonesia istilah ad hoc diartikan sebagai “istimewa untuk hal itu”[6]. Selain masalah definisi dari ad hoc itu faktor lain yang menyebabkan perbedaan pendapat itu yaitu karena dalam UU No. 30 Tahun 2002 sama sekali tidak disebutkan mengenai masa tugas Hakim Ad Hoc. Hal ini berbeda pengaturannya dalam Pengadilan HAM,dalam undang-undangnya disebutkan secara tegas masa tugas dari para hakim ad hoc tersebut.

Syarat, Wewenang dan Tata Cara Pengangkatan Hakim Ad Hoc,

Dalam semua Pengadilan Khusus yang mengatur mengenai Hakim Ad Hoc pengaturan dalam tingkat UU tidak seragam. Tidak semua UU tersebut mengatur mengenai syarat, tata cara serta hal-hal lain yang berkaitan dengan Hakim Ad Hoc secara jelas. UU yang mengatur mengenai tata cara pengangkatan, syarat dan lainnya yang paling minim yaitu pada Pengadilan Perikanan. Dalam UU No. 31/2004 tersebut satu-satunya ketentuan yang mengatur mengenai syarat yaitu terdapat pada bagian penjelasan pasal 78 ayat (1) yang mengatakan Yang dimaksud dengan "hakim ad hoc" adalah seseorang yang berasal dari lingkungan perikanan, antara lain, perguruan tinggi di bidang perikanan, organisasi di bidang perikanan, dan mempunyai keahlian di bidang hukum perikanan.

Wewenang

Mengenai wewenang pengangkatan umumnya disetiap pengadilan diatur bahwa Hakim Ad Hoc diangkat oleh Presiden atas usul Mahkamah Agung, hanya pengaturan dalam Pengadilan Pajak hal tersebut tidak jelas, hanya dikatakan dalam pasal 9 ayat (2) UU No. 4/2004 ‘Dalam memeriksa dan memutus perkara Sengketa Pajak tertentu yang memerlukan keahlian khusus, Ketua dapat menunjuk Hakim Ad Hoc sebagai Hakim Anggota.’ Di sini tidak jelas siapa yang dimaksud dengan Ketua apakah Ketua Pengadilan atau Ketua MA yang memiliki wewenang tersebut. Akan tetapi tampaknya ketidakjelasan tersebut lebih disebabkan karena pada awalnya Pengadilan Pajak didirikan memang bukan sebagai pengadilan khusus akan tetapi Peradilan Khusus, hanya saja perubahan konstitusi yang membatasi lingkungan peradilan hanya ada 4 yang menyebabkan Peradilan Pajak ini harus dirubah menjadi Pengadilan Khusus Pajak. Selain perubahan konstitusi, proses penyatuan atap juga merupakan faktor yang membuat ketidakjelasan tersebut, dalam UU tersebut dikatakan pengaturan lebih lanjut tata cara pengangkatan Hakim Ad Hoc diatur dengan Keputusan Menteri, yang mana saat ini hal tersebut kemungkinan besar tidak akan dimungkinkan lagi.[7]

Sedikit perbedaan terdapat pada pengadilan PHI. Pada pengadilan ini walaupun usulan pengangkatan menjadi wewenang Ketua MA, akan tetapi usulan MA tersebut harus didasari dari usulan yang diajukan oleh serikat Buruh dan organisasi pengusaha.

Syarat Hakim Ad Hoc

Mengenai syarat-syarat formil bagi Hakim Ad Hoc juga berbeda-beda, akan tetapi terdapat benang merah dari masing-masing pengadilan khusus tersebut, yaitu kompentensi. Umumnya syarat kompentensi tersebut diturunkan dalam bentuk gelar kesarjanaan dan pengalaman. Berdasarkan UU tidak semua pengadilan khusus mensyaratkan lulusan fakultas hukum dan sejenisnya, cukup banyak juga pengadilan khusus yang tidak mewajibkan lulusan fakultas hukum sebagai syarat mutlak. Pengadilan Khusus yang mensyaratkan hanya gelar kesarjanaan hukum yaitu Pengadilan PHI khusus bagi Hakim Ad Hoc pada MA. Pengadilan Khusus yang mensyaratkan lulusan fakultas hukum dan sejenisnya (Syariah atau lulusan PTIK)[8] yaitu Pengadilan HAM dan Korupsi.

Pada Pengadilan Niaga, Pajak dan PHI khusus untuk Hakim Ad Hoc pada Pengadilan Negeri syarat yang berkaitan dengan gelar kesarjanaan tidak diatur secara spesifik. Bahkan pada Pengadilan PHI tampaknya benar-benar hanya syarat formil belaka. Dalam UU nya disebutkan salah satu syarat untuk dapat diangkat menjadi hakim ad hoc pada pengadilan negeri yaitu berpendidikan serendah-rendahnya S1, tanpa dijelaskan S1 dari lulusan apa. Sementara pada Pengadilan Perikanan syaratnya yaitu lulusan dari perguruan tinggi bidang perikanan atau organisasi dibidang perikanan dan memiliki keahlian dibidang hukum perikanan.[9]

Mengenai pengalaman dibidang tertentu pada pengadilan khusus tidak semua pengadilan khusus mensyaratkan dengan jelas berapa lama pengalaman dibidang tertentu tesebut dibutuhkan. UU yang mengatur secara tegas hanya pada Pengadilan Korupsi dan Pengadilan PHI. Pada pengadilan Korupsi pengalaman minimal dibidang hukum selama 15 tahun untuk Hakim tingkat PN dan PT, dan 20 tahun untuk tingkat MA. Pada Pengadilan PHI yaitu 5 tahun dibidang hubungan industrial baik untuk Hakim pada tingkat Pertama maupun MA. Pada pengadilan khusus lainnya tidak diatur secara jelas.

Khusus pada Pengadilan Niaga terdapat satu syarat formil lainnya yang tidak ada dalam pengadilan-pengadilan khusus lainnya, yaitu untuk dapat diangkat sebagai hakim ad hoc sebelumnya harus terlebih dahulu lulus program pelatihan khusus pada Pengadilan Niaga.

Tata Cara Pengangkatan Hakim Ad Hoc

Hingga saat ini Pengadilan Khusus yang telah memiliki Hakim Ad Hoc baru 3 pengadilan, yaitu Pengadilan Niaga, Pengadilan HAM, dan Pengadilan Korupsi. Dari keenam UU yang mengatur Pengadilan Khusus yang mengatur soal hakim ad hoc tersebut hanya UU No. 30/2002 saja yang menyatakan secara tegas adanya prinsip transparansi dan partisipasi. Pengaturan secara tegas ini ternyata mempunyai dampak nyata pada pelaksanaan proses rekrutmen hakim Ad Hoc tersebut. Jika dalam proses rekrutmen Hakim Ad Hoc Pengadilan Niaga dan HAM Mahkamah Agung melakukan proses rekrutmen tersebut secara sepihak saja, dalam proses rekrutmen Hakim Tipikor Mahkamah Agung membentuk sebuah Panitia Seleksi yang mengikutsertakan komponen civil society.

Tahap yang dilalui pada rekrutmen Hakim Ad Hoc Tipikor yaitu, MA membentuk Pansel, kemudian Pansel mengumumkan dibukanya pendaftaran Hakim Ad Hoc. Setelah calon-calon hakim ad hoc tersebut mendaftar, Pansel kemudian melakukan seleksi yang dibagi menjadi beberapa tahap, tahap pertama yaitu seleksi administrasi. Terhadap calon yang telah memenuhi kelengkapan-kelengkapan administratif tersebut kemudian diwajibkan untuk mengikuti test tertulis. Setelah test tertulis calon yang lulus kemudian dilakukan profile assessment test yang dilakukan konsultan psikologi dan manajemen profesional. Tahap terakhir yang harus dilalui oleh calon adalah tahap fit and proper test. Dari tahapan-tahan tersebut kemudian Pansel mengajukan usulan nama-nama calon kepada Ketua MA. Pada proses yang lalu Pansel mengajukan 9 calon Hakim Ad Hoc yang terdiri dari 3 orang untuk tingkat PN, 3 untuk tingkat PT dan 3 untuk tingkat MA.

Pada Pengadilan Niaga dan HAM proses rekrutmennya hampir sama, yaitu MA membentuk Tim Seleksi. Tim tersebut kemudian menjaring calon-calon hakim ad hoc, umumnya target penjaringan dilakukan pada kalangan akademisi. Para calon tersebut kemudian mengikuti pelatihan khusus yang diadakan oleh MA bekerja sama dengan pihak luar. Hasil pelatihan khusus tersebut kemudian menjadi dasar bagi MA untuk mengusulkan calon hakim ad hoc kepada Presiden.

Untuk Pengadilan PHI secara normatif terdapat perbedaan yang cukup substansial dengan dalam hal pengangkatan hakim ad hoc dengan pengadilan khusus lainnya. Dalam UU ini disebutkan bahwa pengangkatan hakim ad hoc dilakukan dengan cara organisasi Pengusaha dan Serikat Buruh mengusulkan nama kepada Menteri (Tenaga Kerja) untuk kemudian usulan tersebut diserahkan kepada Ketua MA, dan Ketua MA mengusulkan nama-nama tersebut kepada Presiden untuk disahkan. Dari ketentuan ini tampaknya pola rekrutmen tidak lagi dapat menggunakan mekanisme rekrutmen terbuka seperti pada Pengadilan Korupsi maupun mekanisme penjaringan seperti pada pengadilan HAM dan Niaga.

Susunan Majelis

Salah satu hal

Perwakilan masing-masing pihak tersebut kemudian diterapkan juga pada susunan majelis hakim yang akan memeriksa perkara, di setiap perkara majelis hakim harus terdiri dari hakim karir yang juga menjabat sebagai Ketua Majelis, dan 2 Hakim Ad Hoc dari masing-masing pihak tersebut.

Mengenai jangka waktu masa tugas dari Hakim Ad Hoc tidak semua Undang Undang mengaturnya. UU yang mengatur secara tegas berapa lama masa tugas tersebut yaitu hanya pada Pengadilan HAM dan PHI, keduanya mengatur masa tugas tersebut selama 5 tahun. Lebih jauh lagi pada Pengadilan HAM juga ditentukan jumlah minimal Hakim Ad Hoc yang harus diangkat pada saat berdirinya pengadilan tersebut.

c. Kekhususan Dalam Hukum Acara

Berdasarkan bidang hukum ada 5 Pengadilan Khusus yang merupakan pengadilan pidana, 2 Pengadilan Khusus yang merupakan pengadilan Perdata, serta 1 pengadilan Khusus yang termasuk bidang TUN. Yang masuk dalam bidang hukum pidana yaitu Pengadilan Ekonomi, Anak, HAM, Korupsi dan Perikanan. Dari kelima UU yang mengaturnya diatur juga mengenai hukum acara yang berbeda dengan perkara pidana pidana pada umumnya. Pada Pengadilan HAM, Anak, dan Perikanan aturan KUHAP yang disimpangi yaitu mengenai jangka waktu penahanan. Pada Pengadilan HAM ketentuan jangka waktu tersebut diperpanjang melebihi aturan di KUHAP, sementara pada Pengadilan Anak dan Perikanan justru sebaliknya, masa penahanan disetiap tahapan dipersingkat.

Pada Pengadilan Korupsi keistimewaan yang diberikan oleh UU yaitu mengenai upaya paksa. Jika pada perkara pidana lainnya penyitaan harus dilakukan dengan seizin Ketua Pengadilan hal ini tidak berlaku pada Pengadilan Korupsi. Perkara yang sudah masuk pada tahap penyidikan dan penuntutan juga tidak dapat dihentikan atau dikeluarkan SP3. Ketentuan mengenai segala macam izin, seperti izin untuk membuka rahasia bank, menahan serta menetapkan pejabat negara menjadi tersangka juga berbeda dari hukum acara pada umumnya.

Kesamaan lain dari setiap pengadilan ini yaitu pengaturan mengenai penyidik dan penuntut umum, kesemuanya menuntut penyidik serta penuntut umumnya memiliki keahlian dibidang tertentu. Perbedaannya, pada pengadilan Korupsi institusi yang menjadi penyelidik, penyidik dan penuntut umum tidak lagi Kepolisian dan Kejaksaan, akan tetapi KPK. Sementara pada pengadilan HAM yang berbeda hanya pada tahap penyelidikan, yaitu dilakukan bukan oleh kepolisian melainkan Komnas HAM.


Pengadilan Khusus yang berdasarkan hukum perdata yaitu Pengadilan Niaga dan Pengadilan PHI, sementara yang termasuk pada pengadilan TUN yaitu Pengadilan Pajak[10]. Pada ketiga pengadilan ini penyimpangan terhadap hukum acara yang berlaku cukup banyak.[11] Selain hal-hal prosedural, keunikan dari hukum acara ketiga pengadilan ini yaitu pada tingkatan pengadilan. Pada Pengadilan Niaga dan PHI tingkatan pengadilan dipangkas menjadi 2 tingkat saja, yaitu pada tingkat pertama dan kasasi saja, sementara untuk Banding tidak ada. Pada Pengadilan Pajak pemangkasan tersebut lebih drastis lagi, putusan Pengadilan Pajak tingkat Pertama merupakan putusan yang bersifat final yang tidak dapat diajukan Banding maupun Kasasi lagi, kecuali dalam hal tertentu Peninjauan Kembali oleh MA. Tujuan dari pemangkasan tingkatan pengadilan tersebut adalah untuk membuat proses penyelesaian dispute menjadi lebih cepat.

Tabulasi Perbandingan Jangka Waktu Penahanan

PROSES
KUHAP
PENGADILAN ANAK
PENGADILAN HAM
PENGADILAN PERIKANAN
PENYIDIKAN
Paling lama 20 hari
Paling lama 20 hari
paling lama 90 hari.

paling lama 60 (dua puluh) hari.

Perpanjangan
Paling lama 40 hari
Paling lama 10 hari
paling lama 90 hari.

paling lama 10 (sepuluh) hari.

PENUNTUTAN
Paling lama 20 hari
Paling lama 10 hari
paling lama 30 hari.
10 hari
Perpanjangan
Paling lama 30 hari
Paling lama 15 hari
paling lama 20 (dua puluh) hari
Paling lama 10 hari
PEMERIKSAAN PERSIDANGAN Tingkat 1
Paling lama 30 hari
Paling lama 15 hari
paling lama 90 (sembilan puluh) hari
20 hari
Perpanjangan
Paling lama 60 hari
Paling lama 30 hari
paling lama 30 (tiga puluh) hari
Paling lama 10 hari
PEMERIKSAAN PERSIDANGAN BANDING
Paling lama 30 hari
Paling lama 15 hari
paling lama 60 (enam puluh) hari
20 hari
Perpanjangan
Paling lama 60 hari
Paling lama 30 hari
paling lama 30 (tiga puluh) hari
Paling lama 10 hari
PEMERIKSAAN PERSIDANGAN KASASI
Paling lama 50 hari
Paling lama 25 hari
Tidak diatur dalam UU pengadilan HAM (mengacu pada KUHAP)
20 hari
Perpanjangan
Paling lama 60 hari
Paling lama 30 hari
Tidak diatur dalam UU Pengadilan HAM (mengacu pada KUHAP)
Paling lama 10 hari

Dampak Pembentukan Pengadilan Khusus terhadap MA Pasca Penyatuan Atap


Berikut ini akan dibedah sekilas mengenai masing-masing pengadilan tersebut.

Pengadilan Ekonomi

Pengadilan Ekonomi dibentuk berdasarkan Undang Undang Darurat No. 7 Tahun 1955, yaitu dalam masa Pemerintahan Perdana Menteri Ali Sostroamidjojo. Pengadilan ini dibentuk untuk memberantas tindak pidana ekonomi yang saat itu dianulir cukup merebak. Pengadilan ini berada dibawah lingkungan Badan Peradilan Umum.

Kekhususan yang dimiliki pengadilan ini adalah pengadilan ini mengadili khusus tindak pidana yang diatur dalam UU Darurat ini, Ordonnantie gecontroleerde goederen 1948, Prijsbeheersing-ordonnantie 1948, Undang-undang Penimbunan Barang-barang 1951, Rijstordonnantie 1948, Undang-undang Darurat Kewajiban Penggilingan Padi, Deviezen Ordonnantie 1940, serta tindak pidana lainnya yang oleh undang-undang disebut sebagai Tindak Pidana Ekonomi. Kekhususan lainnya adalah ditambahkannya aturan-aturan yang merupakan materi hukum materil maupun formil.

Dalam pengadilannya sendiri kekhususan yang unik adalah adanya hakim, jaksa dan panitera yang khusus hanya menangani perkara tindak pidana ekonomi yang dapat dipekerjakan lebih dari 1 (satu) pengadilan.

Pengadilan Landreform
Pengadilan Landreform dibentuk melalui UU No. 21 Tahun 1964. Latar belakang pembentukan pengadilan ini diduga sangat berkaitan erat dengan berkembangnya ajaran Marxisme di Indonesia yang diwakili oleh PKI. Pengadilan ini dibentuk untuk mengadili perkara-perkara perdata maupun pidana yang berkaitan dengan konsep landreform yang diatur dalam beberapa peraturan perundang undangan agraria seperti UU Pokok Agraria No. 5/1960, Undang-undang No. 2 tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil, Undang-undang No. 38 Prp. tahun 1960 tentang Penggunaan dan Penetapan Luas Tanah untuk tanaman-tanaman tertentu, Undang-undang No. 51 Prp. tahun 1960 tentang larangan pemakaian tanah tanpa izin yang berhak atau kuasanya, Undang-undang No. 56 Prp. tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian, Peraturan Pemerintah No. 224 tahun 1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian, Undang-undang No. 16 tahun 1964 tentang Bagi Hasil Perikanan dan peraturan lainnya yang secara tegas disebut sebagai peraturan landreform.

Kekhususan lain yang dimiliki oleh pengadilan ini selain hukum materil tersebut di atas terletak pada penggunaan istilah pengadilannya, upaya hukum, serta komposisi hakimnya. Pengadilan ini tidak menggunakan istilah ‘Pengadilan Negeri’ maupun ‘Pengadilan Tinggi’ untuk menunjuk tingkatannya, istilah yang dipergunakan adalah ‘Pengadilan Landreform Daerah’ dan ‘Pengadilan Landreform Pusat’. Upaya Hukum yang dapat diajukan di pengadilan ini juga tergolong unik karena tingkatannya berakhir di Pengadilan Landreform Pusat sebagai pengadilan banding, sedangkan untuk kasasi tidak diperkenankan kecuali Kasasi Demi Kepentingan Hukum.

Mengenai majelis hakimnya pada pengadilan ini memiliki komposisi yang berbeda dari pengadilan pada umumnya. Komposisi majelis hakim pengadilan landreform baik pusat maupun daerah terdiri 5 (lima) orang hakim yang berasal dari hakim pengadilan umum sebagai ketua majelis, Pejabat Tinggi Departemen Agraria sebagai hakim anggota, serta 3 (tiga) orang wakil organisasi massa tani sebagai hakim anggota. Khusus untuk perkara yang melibatkan anggota TNI ketua majelis dipimpin oleh hakim militer menggantikan hakim pengadilan umum.

Rekrutmen hakim yang berasal dari Pengadilan Negeri dilakukan oleh Menteri Kehakiman atas usul Ketua MA. Untuk hakim anggota yang berasal dari Pejabat Tinggi Departemen Agraria rekrutmen dilakukan oleh Menteri Kehakiman atas usul Menteri Agraria. Sedangkan untuk hakim anggota yang berasal dari Organisasi Massa Tani rekrutmen dilakukan oleh Menteri Kehakiman atas usul Sekretaris Jendral Front Nasional.

Usia pengadilan ini tergolong singkat, karena pada tahun 1970 pengadilan ini dihapus melalui UU No. 7 Tahun 1970[12]. Latar belakang penghapusan pengadilan ini seperti halnya dengan latar belakang pembentukannya sarat dengan muatan ideologis. Dalam konsideran a Undang Undang tersebut disebutkan bahwa susunan majelis hakim yang terdiri dari 3 (tiga) orang wakil organisasi massa tani berporoskan Nasakom, dan hal ini bertentangan dengan Tap MRPS No. XXV/MPRS/1966 dan No.XXXVIII/MPRS/ 1968.

Pengadilan Anak
Dasar hukum dari Pengadilan Anak ini adalah UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Ide dasar dari pembentukan pengadilan ini pada dasarnya adalah untuk memberikan perlakuan khusus yang lebih manusiawi pada pelaku tindak pidana yang masih berada di bawah umur. Perlakuan khusus tersebut dimulai tidak hanya pada tahap pemeriksaan di pengadilan akan tetapi di setiap proses peradilannya, dari tahap penyidikan hingga lembaga pemasyarakatan.

Keistimewaan dari UU ini dari sisi hukum materilnya yaitu UU ini memperingan ancaman hukuman yang diatur oleh KUHP, menambahkan jenis pidana tambahan, serta memberikan batasan umur yang jelas tentang siapa yang dapat dikategorikan sebagai anak, yaitu setiap orang yang berusia 8-18 tahun[13]. UU ini juga memperhalus istilah terpidana bagi anak menjadi Anak Nakal.

Aspek hukum formil yang berubah pada UU ini antara lain berkaitan dengan proses penyidikan dimana dalam UU ini dinyatakan pemeriksaan terhadap tersangka anak wajib dilakukan dalam suasana kekeluargaan. Dalam setiap proses pemeriksaan mulai dari penyidikan hingga pemeriksaan di persidangan pemeriksaan dilakukan secara tertutup, kecuali dalam hal pembacaan putusan pengadilan, hal mana berbeda dari perkara untuk orang dewasa. UU ini juga merubah aturan-aturan mengenai jangka waktu penahanan yang ada di KUHAP menjadi lebih singkat. Satu hal lain yang berbeda dari proses pemeriksaan bagi orang dewasa yaitu diwajibkannya tersangka/ terdakwa untuk didampingi oleh suatu lembaga yang dinamakan Pembimbing Kemasyarakatan



Artikel pengadilan ikan : http://www.solusihukum.com/artikel/artikel44.php
[1] Sebenarnya terdapat satu lagi undang-undang yang mengatur mengenai Kekuasaan Kehakiman yang pernah ada di Indonesia, yaitu UU No. 19 Tahun 1948, tapi penulis belum berhasil mengakses UU tersebut.
[2] Pengertian Hakim Ad Hoc secara singkat dapat diartikan sebagai hakim yang bukan berasal dari hakim karir seperti dalam pengadilan biasa yang bertugas khusus dalam pengadilan khusus tersebut dalam jangka waktu tertentu.

[3] Walaupun pengaturan yang secara tegas hanya terdapat pada Pengadilan Niaga, pada Pengadilan Pajak sama sekali tidak disinggung mengenai bolehnya pada tingkat Mahkamah Agung diangkat seorang Hakim Ad Hoc.
[4] Blue Print Tipikor adalah kegiatan yang diprakarsai oleh Bappenas yang di dalamnya melibatkan pihak-pihak dari lembaga-lembaga negara yang terkait dengan pembentukan Pengadilan Tipikor. Kegiatan ini dipimpin oleh Hakim Agung Prof. Paulus E Lotulung sebagai ketua Steering Commitee yang dibantu oleh LeIP dan PSHK.
[5] Dalam penyusunan Blue Print Pengadilan Tipikor pada akhirnya disepakati bahwa hakim ad hoc direkrut berdasarkan masa tugas.
[6] Kamus Kata-Kata Serapan Asing Dalam Bahasa Indonesia, JS Badudu, Kompas 2003

[7] Pengadilan Pajak yang didirikan pada masa system dua atap awalnya secara administratif, finansial, dan organisatoris akan berada dibawah Menteri Keuangan, sebagaimana halnya Peradilan Umum dan TUN berada dibawah Departemen Kehakiman. Dengan dialihkannya kekuasaan eksekutif dalam hal peradilan ke MA serta adaya pembatasan lingkungan peradilan, Pengadilan Pajak kemudian dijadikan Pengadilan Khusus dibawah lingkungan peradilan TUN. Secara organisatoris dan administratif membuat hubungan antara Menteri Keuangan dengan Pengadilan ini menjadi hilang.
[8] Tidak jelas mengapa lulusan syariah dapat menjadi hakim ad hoc walaupun jika dilihat dari segi kompentensi terasa agak kurang tepat. Cukup keras dugaan hal ini terjadi karena desakan dari kalangan lulusan syariah. Desakan ini juga terjadi pada pembentukan UU Advokat No. 18 Tahun 2003, di mana pada akhirnya lulusan syariah dapat juga menjadi advokat.
[9] Persyaratan ini terkesan ambigu, karena di satu sisi ketentuan ini dapat ditafsirkan bahwa sarjana non hukum dapat menjadi hakim ad hoc, tapi di sisi lain ketentuan keahlian di bidang hukum perikanan membuka penafsiran bahwa gelar kesarjanaan hukum merupakan syarat mutlak.

[11] Khusus untuk pengadilan pajak, karena UU Pengadilan Pajak awalnya memang ditujukan sebagai badan peradilan tersendiri maka pengaturan hukum acaranya juga tersendiri, akan tetapi dengan dimasukkannya pengadilan pajak kebawah lingkungan Peradilan TUN sementara belum terdapat perubahan atas UU No. 4/2002 penulis belum dapat mengetahui apakah setelah perubahan atas UU tersebut hukum acara yang berlaku mengikuti UU No. 5/1986 atau tetap mengikuti UU No. 4/2002.
[12] Sebenarnya penghapusan telah dimulai pada tahun 1969 dengan UU No. 6 Tahun 1969, akan tetapi dalam UU No. 6/1969 tersebut disebutkan bahwa Pengadilan Landreform mulai efektif tidak berlaku semenjak ada pengadilan penggantinya, akhirnya dengan alasan efisiensi UU No. 7/1970 kembali mempertegas penghapusan pengadilan tersebut dan menyerahkan yurisdiksinya kembali kepada pengadilan umum.
[13] Dari batasan umur sebenarnya muncul suatu pertanyaan, bagaimana jika pelaku tindak pidana tersebut berusia dibawah umur 8 tahun, apakah diperiksa dengan mekanisme biasa. Penulis dalam hal ini berpendapat bahwa pembuat UU ini tidak bermaksud seperti itu akan tetapi justru ingin meghapuskan pidana anak yang dilakukan oleh anak yang berusia dibawah umur 8 tahun, sehingga segala perbuatan pidana yang dilakukan oleh anak dibawah umur 8 tahun dianggap bukan tindak pidana, atau setidaknya tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya.