Minggu, 16 Maret 2008

Dampak Putusan MK Atas Hak Uji Materil UU No. 31/1999

Dampak Putusan MK Atas Hak Uji Materil UU No. 31/1999


Putusan Mahkamah Konstitusi yang memutus permohonan Hak Uji Materil UU No. 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi sebagaimana yang telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 memang cukup menarik perhatian publik. Putusan tersebut bahkan sempat mendapat tanggapan dari Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh yang juga merupakan mantan Hakim Agung yang menyayangkan isi putusan MK tersebut.

Putusan ini diawali dengan permohonan Hak Uji materil yang diajukan oleh Pemohon Ir. Dawud Djatmiko yang memohonkan agar kata “dapat” sebelum kata-kata “…merugikan keuangan negara…” dalam pasal 2 dan 3 UU No. 31/1999 dinyatakan bertentangan dengan konstitusi. Terhadap permohonan tersebut MK tidak sependapat, atau menolak permohonan pemohon untuk menghapuskan kata “dapat” tersebut, namun diluar dugaan ternyata MK justru memutus hal yang tidak dimohonkan secara eksplisit oleh pemohon, yaitu menyatakan kalimat dalam penjelasan pasal 2 ayat (1) tidak lagi memiliki kekuatan hukum mengikat, yang selengkapnya berbunyi:
“Yang dimaksud dengan secara melawan hukum dalam pasal ini mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti materil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana.”

Bunyi pasal 2 ayat (1) selengkapnya sebagai berikut:

Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000 (dua ratus juga rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah). (cetak miring –penulis)

Yang kini menjadi pertanyaan adalah apa dampak yang akan atau mungkin timbul dari ‘dihapuskannya’ penjelasan pasal tersebut? Untuk menjawab pertanyaan ini maka perlu diutarakan terlebih dahulu apa sebenyarnya melawan hukum dalam arti formal dan dalam arti material.

Suatu perbuatan yang melawan hukum formal yaitu segala perbuatan-perbuatan yang melanggar suatu ketentuan perundang-undangan, baik undang-undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Daerah dll. Intinya adalah segala peraturan tertulis serta formal yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan untuk membuat peraturan tersebut. Disini maka hukum dipandang (semata-mata) sebagai peraturan, khususnya peraturan tertulis dari negara. Sementara yang dimaksud dengan melawan hukum materil adalah perbuatan yang bertentangan dengan hukum secara materil, atau melihat hukum dari sudut pandang esensi hukum itu sendiri, bukan bentuknya (form).

Dalam melawan hukum formil “vs” materil, makna melawan hukum materil menjadi lebih spesifik lagi, yaitu suatu perbuatan dapat dikatakan melawan hukum jika perbuatan tersebut tercela (menurut ukuran masyarakat) karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma masyarakat, walaupun sebenarnya tidak ada peraturan perundang-undangan yang dilanggar. Dalam hukum pidana pengertian ini adalah pengertian melawan hukum materil dalam fungsi positif, atau yang biasa disebut dengan Ajaran melawan hukum materil dalam fungsi positif, yang dibedakan dari ajaran melawan hukum dalam fungsi negatif.

Tentang ajaran Melawan hukum materil dalam fungsi negatif merupakan ajaran yang menyatakan bahwa seseorang yang melanggar suatu ketentuan hukum pidana dapat tidak dipidana jika sifat melawan hukum dari perbuatan tersebut tidak ada, atau menurut norma masyarakat perbuatan tersebut bukan merupakan suatu perbuatan yang dapat dikategorikan sebagai perbuatan pidana (kejahatan atau pelanggaran)[1]. Contoh penerapan ajaran ini misalnya dalam suatu masyarakat penculikan anak perempuan untuk kemudian dinikahkan bukan merupakan perbuatan tercela, namun bagian dari adat masyarakat setempat. Sementara dalam KUHP penculikan merupakan tindak pidana yang diancam dengan hukuman penjara. Jika seseorang lelaki dari masyarakat tersebut melakukan perbuatan tersebut maka walaupun perbuatannya telah memenuhi unsur-unsur pidana hakim dapat tidak menjatuhkan pidana terhadap lelaki tersebut karena secara materil perbuatan tersebut merupakan bagian dari adat masyarakat tersebut. Dari pengertian ini ajaran melawan hukum materil sebagai dasar/ alasan penghapus pidana.

Kedua ajaran ini sebenarnya sudah cukup lama diakui keberadaannya, baik dalam ilmu hukum pidana yang berkembang di Indonesia maupun dalam praktek peradilan. Putusan-putusan Mahkamah Agung yang menerapkan ajaran melawan hukum materil dalam fungsi negatif misalnya dalam kasus Machroes Effendie pada tahun 1966, kasus Ir. Mochamad Otjo Danaatmadja pada tahun 1977, dan kasus Mohammad Toha Iljas pada tahun 1972 . Sementara putusan Mahkamah Agung yang menerapkan ajaran melawan hukum dalam fungsi positif misalnya dalam kasus Natalegawa pada tahun 1983, kasus Ir. Paulus Hidayat bin Srihono Cokrodiharjo pada tahun 1993, serta yang terakhir yaitu kasus Akbar Tandjung pada tahun 2003.[2]

Selain dalam doktrin serta yurisprudensi MA, diakuinya ajaran melawan hukum dalam fungsi positif juga sebenarnya sudah diakui sejak tahun 1971, yaitu sejak diundangkannya UU No. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pada UU ini dalam penjelasan umumnya dikatakan bahwa pengertian melawan hukum tidak hanya dalam artian melawan hukum formil, namun juga materil. Jadi ditinjau dari sudut kebaruan sebenarnya penjelasan pasal 2 ayat (1) UU No. 31/1999 sebenarnya tidak sama sekali baru, namun hanya menarik ketentuan dalam Penjelasan Umum UU No. 3/1971 ke penjelasan atas batang tubuh.

Sebagai sebuah doktrin, ajaran melawan hukum dalam fungsi positif dalam ilmu hukum pidana sebenarnya tidak hanya ditujukan atau dimaksudkan khusus untuk tindak pidana korupsi saja, namun dapat diterapkan untuk semua tindak pidana yang mana dalam rumusan pasalnya memasukkan unsur melawan hukum sebagai salah satu unsur tindak pidananya. Yurisprudensi Mahkamah Agung yang menerapkan ajaran ini dalam perkara selain korupsi misalnya dalam perkara Ir. Paulus Hidayat bin Srihono Cokrodiharjo. Dalam perkara ini tindak pidana yang didakwakan bukanlah korupsi namun penggelapan (Ps. 372 KUHP).

Yang menjadi pertanyaan kini adalah apakah putusan MK hanya bermakna bahwa MK hanya mencabut penjelasan pasal 2 ayat (1) semata, ataukah MK juga secara implisit ingin menyatakan bahwa ajaran melawan hukum materil baik sebagai doktrin maupun sebagai yurisprudensi bertentangan dengan konstitusi, khususnya asas kepastian hukum (pasal 28 D ayat (1))? Maksud MK serta pemaknaan atas hal ini memiliki konsekuensi yang sangat berbeda, baik dalam pemberantasan korupsi maupun tindak pidana pada umumnya.

Jika putusan tersebut dimaknai dalam kerangka yang kedua, yaitu MK memang bermaksud menyatakan bahwa tidak hanya penjelasan pasal 2 ayat (1) saja yang dinyatakan bertentangan dengan konstitusi, namun doktrin-doktrin serta yurisprudensi MA tersebut juga tidak dapat diterapkan lagi maka hal tersebut berarti akan mempersulit para penegak hukum dan hakim dalam memberantas tidak hanya korupsi namun semua tindak pidana yang mencantumkan ‘melawan hukum’ sebagai salah satu unsur dalam rumusan pasalnya.[3] Penegak hukum harus mencari peraturan perundang-undangan yang dilanggar oleh terdakwa untuk dapat memenuhi unsur melawan hukum tersebut. Padahal sangat disadari bahwa hukum khususnya hukum formal yang dibuat oleh Negara tidak selamanya mencukupi untuk dapat mengatur segala tingkah laku manusia.

Kita ingat misalnya dalam kasus Bulogate dengan terdakwa Akbar Tandjung, Winfried Simatupang, dan Dadang Ruskandar tidak ada peraturan perundangan yang mengatur mengenai pengelolaan dana non-budgeter pada saat itu, terlebih lagi tidak ada peraturan yang mengatur bagaimana pelaksanaan tender yang dilaksanakan oleh pihak ketiga (dalam kasus ini Winfried S dan Dadang R). Namun perbuatan yang dilakukan oleh Terdakwa II dan III tersebut menurut Mahkamah Agung merupakan suatu perbuatan yang tercela, yang bertentangan dengan keharmonisan nilai-nilai sosial. Atas dasar tersebut maka kemudian Mahkamah Agung menyatakan terhadap terdakwa II dan III tersebut unsur melawan hukum dinyatakan terbukti. Seandainya hukum dalam unsur melawan hukum hanya ditafsirkan terbatas pada hukum formal –peraturan tertulis yang dibuat oleh Negara, maka tentunya terhadap tindakan-tindakan seperti yang terjadi dalam kasus Bulogate tidak akan dapat dijerat.

Jika putusan MK dimaknai semata hanya sebagai ‘penghapusan’ atas penjelasan pasal 2 ayat (1) UU No. 31/1999 maka menjadi pertanyaan, dengan demikian apa yang dimaksud dengan ‘hukum’ dalam unsur ‘secara melawan hukum’? Apakah semata hukum formil, ataukah juga hukum materil? Dalam hal ketidakjelasan penafsiran suatu unsur dalam ilmu hukum maka sudah menjadi pengetahuan umum bahwa metode penafsiran hukum yang ada (gramatikal, sistematikal, teleologis, historis dll) berlaku. Selain itu penafsiran-penafsiran yang dilakukan oleh pakar-pakar hukum (doktrin) dapat dipergunakan, serta penafsiran yang dilakukan oleh Mahkamah Agung dalam putusan-putusan terdahulu (yurisprudensi) dapat juga dipergunakan. Secara sistematis, oleh karena dalam Penjelasan Umum UU No. 31/1999 disebutkan:
“...pengertian melawan hukum dalam tindak pidana korupsi dapat pula mencakup perbuatan-perbuatan tercela yang menurut rasa keadilan masyarakat harus dituntut dan dipidana.”[4]
maka berarti yang dimaksud ‘hukum’ dalam unsur ‘melawan hukum’ dalam pasal 2 ayat (1) dan juga dalam pasal 12e UU No. 20/2001 berarti termasuk juga hukum dalam artian materil. Dengan demikian maka hal tersebut berarti putusan MK tersebut secara esensial tidak akan memiliki dampak pada (khususnya) pemberantasan korupsi.

Untuk melihat bagaimana seharusnya kita memaknai putusan MK maka penting bagi kita untuk mengetahui sejauh mana kewenangan yang dimiliki oleh MK dalam melakukan Uji Materil terhadap suatu Undang-Undang. Dalam pasal 10 ayat 1 UU No. 24/2003 disebutkan bahwa MK berwenang untuk menguji UU terhadap UUD 1945. Pertanyaannya adalah apakah kewenangan tersebut dapat dapat dijalankan oleh MK secara serta merta (tanpa adanya permohonan) ataukah harus melalui suatu permohonan yang diajukan oleh pemohon? Jika melihat pada pasal 56 ayat 1 s/d 5 UU MK yang mengatur mengenai putusan MK atas Hak Uji, serta melihat pada Peraturan MK No. 06/PMK/2006 tentang Pedoman Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang maka terlihat bahwa MK hanya berwenang menyatakan suatu UU bertentangan atau tidak dengan Konstitusi hanya jika adanya permohonan. Selain itu jika merujuk pada pasal 57 ayat 1 UU MK dan PMK No. 6 maka yang dapat dinyatakan bertentangan dengan Konstitusi dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat adalah apa yang dinyatakan oleh MK dalam putusannya. Yang hal tersebut berarti MK tidak memiliki kewenangan menyatakan UU atau pasal dari suatu UU yang tidak dimintakan dan dinyatakan secara tegas dalam putusan MK sendiri tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Terlebih lagi, hal tersebut berarti MK tidak memiliki kewenangan untuk menyatakan suatu yurisprudensi apalagi doktrin bertentangan dengan konstitusi.

Menurut pendapat saya, mengingat MK hanya menyatakan bahwa yang dinyatakan tidak mengikat adalah penjelasan pasal 2 ayat (1), maka berarti Penjelasan Umum UU 31/1999 tetap berlaku, dan yurisprudensi MA seperti dalam kasus Natalegawa dll masih dapat dipergunakan. Atau dengan kata lain putusan MK harus dimaknai dalam kerangka pertama, bukan dalam kerangka bahwa tidak hanya penjelasan pasal 2 ayat (1) saja yang dinyatakan bertentangan dengan konstitusi, namun doktrin-doktrin serta yurisprudensi MA tersebut juga tidak dapat diterapkan lagi.

Kini menjadi pertanyaan terakhir, apakah para penegak hukum akan memaknai putusan MK seperti pendapat saya di atas, ataukah memaknainya seperti wacana yang berkembang di masyarakat saat ini, bahwa putusan MK merupakan hari besar para koruptor? Hanya waktu yang akan menjawab. Saya hanya dapat berharap bahwa para penegak hukum dan hakim tidak terjebak dengan putusan MK tersebut.


* Penulis adalah Wakil Direktur Eksekutif Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP), Organisasi Non-Pemerintah yang memfokuskan diri pada isu-isu pembenahan peradilan.
[1] Dalam hukum pidana Indonesia tindak pidana dibagi menjadi 2 kategori besar, yaitu Kejahatan, yaitu perbuatan-perbuatan yang dilarang dan diatur dalam Buku II KUHP, dan Pelanggaran, yaitu perbuatan-perbuatan yang dilarang dan diatur dalam Buku III KUHP. KUHP sendiri terdiri dari 3 buku, Buku I mengatur tentang ketentuan umum.
[2] Pada kasus Akbar Tandjung khususnya pada pertimbangan MA terhadap Terdakwa II dan Terdakwa III. Dalam kasus ini Mahkamah Agung sangat tidak konsisten, karena untuk Akbar Tandjung MA menolak untuk menerapkan ajaran melawan hukum materil dalam fungsi positif ini namun terhadap Terdakwa II dan III MA justru menerapkannyal.
[3] Tidak semua pasal di KUHP mencantumkan ‘melawan hukum’ sebagai salah satu unsur dalam pasal, menurut Van Schravendijk (Utrecht I hal. 273) hanya ada sekitar 10% pasal di KUHP yang mencantumkannya sebagai unsur delik yang harus dibuktikan.
[4] Penjelasan Umum UU No. 31/1999 alinea 5.

Tidak ada komentar: