Minggu, 16 Maret 2008

Pengadilan-Pengadilan Khusus di Indonesia

Pengadilan-Pengadilan Khusus di Indonesia



1. Pendahuluan

Pengadilan khusus sebenarnya bukan merupakan barang baru di dunia peradilan Indonesia. Tercatat setidaknya 2 (dua) pengadilan khusus telah pernah berdiri sebelum masuknya era reformasi, yaitu Pengadilan Ekonomi (UU Darurat No. 7 Tahun 1955), dan Pengadilan Anak (UU No. 3 Tahun 1997). Setelah masuknya era reformasi yang diawali dengan krisis moneter pengadilan khusus mulai banyak didirikan. Pengadilan khusus yang pertama di era ini adalah Pengadilan Khusus Niaga yang diatur dalam Perpu No. 1 Tahun 1998 yang kemudian diundangkan dengan UU No. 4/1998. Kemudian Pengadilan Pajak (UU No. 14 Tahun 2000), Pengadilan Khusus HAM (UU No. 26 Tahun 2000), Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi (UU No. 30 Tahun 2002), Pengadilan Khusus Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (Pengadilan PPHI) (UU No. 2 Tahun 2004) dan yang terakhir yaitu Pengadilan Khusus Tindak Pidana Perikanan (UU No. 31 Tahun 2004).


2. Dasar Hukum Pengadilan Khusus

Dalam setiap UU yang mengatur mengenai Kekuasaan Kehakiman, baik UU No. 19 Tahun 1964, UU No. 14 Tahun 1970 maupun UU No. 4 Tahun 2000[1], telah diatur mengenai Pengadilan Khusus dan Peradilan Khusus, hanya saja dalam setiap UU tersebut terdapat derajat ketegasan pengaturan yang berbeda-beda. Dalam UU No. 19/1964 pengaturan mengenai Pengadilan Khusus tidak terlalu jelas. Dalam Batang Tubuh UU tersebut sama sekali tidak disebutkan mengenai keberadaan Pengadilan Khusus, satu-satunya pengaturan yang mengindikasikan dapat dibentuknya Pengadilan Khusus atau spesialisasi dalam salah satu lingkungan peradilan terdapat dalam bagian penjelasan. Dalam penjelasan pasal 7 ayat (1) UU No. 19/1964 disebutkan:

(1) Undang-undang ini membedakan antar Peradilan Umum, Peradilan Khusus dan Peradilan Tata-Usaha Negara.
Peradilan Umum antara lain meliputi pengadilan Ekonomi, Pengadilan Subversi, Pengadilan Korupsi.
Peradilan Khusus terdiri dari Pengadilan Agama dan Pengadilan Militer. Yang dimaksudkan dengan Peradilan Tata-Usaha Negara adalah yang disebut "peradilan administratif" dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara No. II/MPRS/1960, dan antara lain meliputi juga yang disebut "peradilan kepegawaian" dalam pasal 21 Undang-undang No. 18 tahun 1961 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kepegawaian (Lembaran-Negara tahun 1961 No. 263; Tambahan Lembaran-Negara No.2312).

Dari ketentuan tersebut dapat ditafsirkan bahwa Pengadilan Khusus dapat dibentuk hanya dalam lingkungan Peradilan Umum. Yang menjadi masalah adalah UU tersebut tidak mengatur peraturan perundang-undangan dalam tingkatan apa yang diperlukan untuk membentuk Pengadilan-Pengadilan Khusus tersebut, hal ini berdampak pada siapa atau lembaga apa yang mempunyai kewenangan untuk membentuk Pengadilan Khusus. Selain itu pengaturan tersebut juga tidak memperlihatkan apa fungsi dari pembentukan Pengadilan Khusus.

Berbeda dengan UU No. 19/1964 tersebut, UU No. 14/1970 yang menggantikan UU tersebut kemudian mengatur sedikit lebih jelas mengenai Pengadilan Khusus, walaupun tetap pengaturannya masih dalam bagian penjelasan UU, bukan dalam Batang Tubuh. Dalam penjelasan pasal 10 ayat (1) disebutkan:

(1) Undang-undang ini membedakan antara empat lingkungan peradilan yang masing-masing mempunyai lingkungan wewenang mengadili tertentu dan meliputi Badan-badan Peradilan tingkat pertama dan tingkat banding.
Peradilan Agama, Militer dan Tata Usaha Negara merupakan peradilan khusus, karena mengadili perkara-perkara tertentu atau mengenai golongan rakyat tertentu, sedangkan Peradilan Umum adalah peradilan bagi rakyat pada umumnya mengenai baik perkara perdata, maupun perkara pidana.
Perbedaan dalam empat lingkungan peradilan ini, tidak menutup kemungkinan adanya pengkhususan (differensiasi/spesialisasi) dalam masing-masing lingkungan, misalnya dalam Peradilan Umum dapat diadakan pengkhususan berupa Pengadilan lalu lintas, Pengadilan Anak-anak, Pengadilan Ekonomi, dan sebagainya dengan Undang-undang.

Dari ketentuan di atas terlihat bahwa pengaturan mengenai Pengadilan Khusus sudah relatif lebih tegas dari peraturan sebelumnya. Ketentuan ini membuka pintu untuk dibentuknya Pengadilan-Pengadilan Khusus disemua lingkungan peradilan, tidak terbatas hanya pada Peradilan Umum semata. Pengaturan mengenai peraturan perundang-undangan apa yang dibutuhkan untuk membentuk pengadilan khusus tersebut juga sudah cukup jelas, yaitu Undang-Undang. Jika diperbandingkan kedua UU tersebut juga terlihat bahwa dalam hal Lingkungan Peradilan sendiri terjadi perubahan-perubahan, jika sebelumnya lingkungan peradilan dibagi menjadi 3 bagian, yaitu Peradilan Umum, Peradilan Khusus -yang terdiri dari Peradilan Agama dan Peradilan Militer-, dan Peradilan TUN, UU No. 14/1970 membaginya hanya menjadi 2, yaitu Peradilan Umum dan Peradilan Khusus yang mana Peradilan Agama, TUN dan Militer digolongkan sebagai Peradilan Khusus.

Akan tetapi walaupun UU No. 14 Tahun 1970 membuka kemungkinan diadakannya pengkhususan pada setiap lingkungan peradilan hal itu ternyata tidak tercermin dalam UU yang mengatur mengenai masing-masing lingkungan peradilan. Dari 4 UU yang mengatur mengenai Badan Peradilan, UU yang menyatakan dalam lingkungan peradilannya dapat diadakan pengkhususan hanyalah UU No. 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum, sementara dalam 3 UU badan peradilan lainnya seperti UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan TUN, UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dan UU No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer sama sekali tidak menyebutkan satu kata pun mengenai hal ini. Hal ini tentunya menimbulkan satu pertanyaan, apakah dalam ketiga Badan Peradilan tersebut dapat dibentuk pengadilan khusus atau pengkhususan atau tidak.

Tidak diaturnya mengenai pengadilan khusus dalam 3 badan peradilan tersebut tampaknya memang bukan tanpa sengaja. Selain pada saat itu memang belum pernah ada pengadilan khusus yang berada dibawah lingkungan peradilan selain Peradilan Umum, 3 badan peradilan lainnya itu sendiri sebenarnya secara inheren sudah dianggap merupakan pengkhususan dari Peradilan Umum sehingga mungkin akan sedikit ganjil jika dalam peradilan khusus tersebut diadakan pengkhususan lagi. Hal ini bisa terlihat dari penjelasan pasal 10 ayat (1) UU No. 14/1970 tersebut.

Terlepas dari perbedaan-perbedaan tersebut, satu hal yang perlu dicatat dari kedua UU tersebut dalam kedua UU tersebut terlihat bahwa istilah Pengadilan Khusus belum dikenal. Istilah Pengadilan Khusus dinyatakan secara tegas baru pada UU No. 4 Tahun 2004 yang menggantikan UU No. 14 Tahun 1970. Dalam UU No. 4/2004 ini posisi Pengadilan Khusus tidak lagi ditempatkan dalam bagian penjelasan UU akan tetapi telah dimasukkan dalam bagian Batang Tubuh.

Pasal 15
(1) Pengadilan khusus hanya dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan peradilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 yang diatur dengan undang-undang.

Penjelasan:
Pasal 15
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan ”pengadilan khusus” dalam ketentuan ini, antara lain, adalah pengadilan anak, pengadilan niaga, pengadilan hak asasi manusia, pengadilan tindak pidana korupsi, pengadilan hubungan industrial yang berada di lingkungan peradilan umum, dan pengadilan pajak di lingkungan peradilan tata usaha negara.

Jika melihat dari perbandingan ketiga UU Kekuasaan Kehakiman di atas tampaknya penegasan pengaturan Pengadilan Khusus dalam bagian Batang Tubuh dilakukan karena pada saat dirumuskannya UU No. 4/2004 tersebut Pengadilan Khusus yang sudah didirikan memang sudah cukup banyak. Hal ini berbeda kondisinya ketika kedua UU sebelumnya dirumuskan, di mana sebelumnya pengadilan khusus yang ada atau pernah ada hanya 1 buah, yaitu Pengadilan Ekonomi.

Ketidakjelasan mengenai apakah dalam lingkungan peradilan selain peradilan umum dapat dibentuk juga pengadilan khusus atau tidak kemudian dijawab dengan dikeluarkannya UU No. 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Dalam pasal 9A UU No. 9/2004 ini akhirnya secara tegas dinyatakan bahwa dalam lingkungan peradilan TUN (juga) dapat dibentuk pengadilan khusus atau pengkhususan. Perubahan ini tampaknya terjadi karena 2 hal, pertama untuk dapat membuat Pengadilan Pajak yang pada awalnya berdasarkan UU didirikan sebagai badan peradilan tersendiri menjadi bagian dari Badan Peradilan TUN. Kedua karena adanya perubahan cara pandang pembuat UU terhadap 3 badan/lingkungan peradilan selain Peradilan Umum yang dulu dianggap sebagai peradilan khusus menjadi tidak lagi dianggap sebagai peradilan khusus.


3. Dasar Pengkhususan

Kini muncul pertanyaan, kebutuhan apa yang diperlukan sebagai syarat pembentukan pengadilan khusus. Mengenai hal ini ternyata baik UU Kekuasaan Kehakiman maupun UU yang mengatur mengenai badan/lingkungan peradilan tidak mengaturnya kecuali bahwa landasan hukumnya haruslah undang undang. Sementara itu jika dilihat dari pengaturan dalam 8 UU yang mengatur Pengadilan Khusus yang ada dan pernah ada dasar pengkhususan dapat dibagi menjadi 2, yaitu pengadilan yang kekhususannya karena hukum materil yang menjadi ruang lingkupnya, dan pengadilan yang kekhususannya karena subjek yang terlibat. Pengadilan khusus yang termasuk dalam kategori pertama yaitu Pengadilan Ekonomi, Pengadilan Niaga, Pengadilan HAM, Pengadilan Pajak dan Pengadilan Perikanan. Pada keenam pengadilan ini kompentensi absolutnya berkaitan dengan objek hukum, dalam pengertian setiap perkara yang termasuk dalam objek hukum tertentu menjadi wewenang pengadilan ini. Pada Pengadilan Ekonomi setiap perkara Tindak Pidana Ekonomi menjadi wewenang Pengadilan Ekonomi, pada pengadilan Niaga setiap perkara Kepailitan, Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dan HAKI merupakan wilayah Pengadilan Niaga. Pada Pengadilan Pajak sengketa pajak yang menjadi ruang lingkupnya. Pada Pengadilan HAM pelanggaran HAM berat, Pengadilan PHI perselisihan hubungan industrial, dan pada Pengadilan Perikanan yaitu Tindak Pidana Perikanan yang diatur dalam UU Perikanan. Tidak ada perkara yang termasuk dalam lingkup hukum tersebut dapat diselesaikan diluar pengadilan-pengadilan khusus tersebut.

Berbeda dari kategori pertama, pada kategori yang menjadi dasar kekhususan adalah subjek yang terlibat. Pada Pengadilan Anak subjek yang menjadi sumber kekhususan adalah tersangka/Terdakwa nya, dalam hal ini anak yang berusia antara 8-18 tahun. Pada Pengadilan Korupsi tidak semua perkara korupsi masuk ke dalam kompententsi absolutnya, hanya perkara korupsi yang penuntutannya dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi saja yang dapat diperiksa dalam pengadilan ini, perkara korupsi yang penuntutannya dilakukan oleh pihak Kejaksaan tetap diperiksa pada pengadilan negeri.

Dilihat dari pengkhususan-pengkhususan tersebut terlihat bahwa Pengadilan Korupsi merupakan pengadilan khusus yang paling berbeda dari yang lainnya. Dasar pengkhususan pada pengadilan ini membuka kemungkinan terjadinya disparitas putusan dalam perkara korupsi antara perkara korupsi yang diperiksa oleh Pengadilan Negeri dengan yang diperiksa oleh Pengadilan Korupsi. Di satu sisi kemungkinan disparitas ini memang mungkin dipandang negatif, akan tetapi di sisi lain hal ini sebenarnya juga bisa dimanfaatkan untuk mendorong kinerja hakim karir; Pengadilan Korupsi yang mayoritas diisi oleh hakim ad hoc dapat menjadi alat ukur apakah asumsi masyarakat bahwa pengadilan / hakim karir sudah sedemikian korupnya benar atau tidak. Jika ternyata dalam perkara korupsi putusan dari Pengadilan Korupsi lebih baik daripada pengadilan negeri umum maka asumsi publik tersebut tentunya bukan isapan jempol belaka, dan pengadilan harus berupaya untuk memperbaiki dirinya kalau tidak ingin kepercayaan publik hilang sepenuhnya.


a. Pengadilan Khusus Sebelum dan Sesudah 1998

Era reformasi ternyata memiliki dampak yang cukup berarti dalam dunia peradilan di Indonesia mulai dari masuknya Hakim-Hakim Agung yang berasal dari kalangan non-hakim atau yang biasa disebut dengan Hakim Agung Non-Karir hingga diterapkannya sistem Satu Atap, yaitu digabungkannya fungsi adminstratif, finansial dan organisatoris yang awalnya berada di bawah Departemen Kehakiman ke Mahkamah Agung. Perubahan lainnya yaitu dengan mulai munculnya Pengadilan-Pengadilan Khusus yang berfungsi untuk memeriksa perkara-perkara tertentu yang ditetapkan undang-undang.

Dalam hal pembentukan Pengadilan Khusus pun era reformasi mempunyai dampak secara khusus. Dampak tersebut tercermin dari mulai diperkenalkannya Hakim Ad Hoc[2] dalam setiap pengadilan-pengadilan khusus yang dibentuk pada era reformasi serta adanya pembatasan jangka waktu pemeriksaan perkara di pengadilan. Faktor yang menyebabkan diaturnya Hakim-Hakim Ad Hoc dan pembatasan jangka waktu ini didorong oleh semakin kurangnya kepercayaan masyarakat terhadap institusi peradilan. Pada masa orde baru hakim karir dipandang kurang independen dihadapan kekuasaan, merebaknya isu korupsi di dunia peradilan juga merupakan faktor yang mengurangi kepercayaan masyarakat tersebut. Faktor menurunnya kepercayaan publik terhadap hakim karir ini kemudian melahirkan hakim ad hoc.

Dalam hal pembatasan jangka waktu faktor utamanya yaitu karena merebaknya anggapan masyarakat yang menyatakan bahwa proses pemeriksaan di pengadilan memakan waktu yang cukup lama. Anggapan ini sebenarnya cukup beralasan khususnya untuk pemeriksaan perkara di tingkat Banding maupun Kasasi, tidak jarang perkara dikedua tingkat tersebut memakan waktu di kedua tahap tersebut. Asas peradilan cepat, sederhana serta murah kemudian hanya menjadi asas di atas kertas semata. Faktor lamanya pemeriksaan perkara di pengadilan tersebut kemudian disikapi oleh pembuat UU dengan jalan memberikan jangka waktu yang pasti pada pengadilan-pengadilan khusus tersebut.

Pengaturan Mengenai Hakim Ad Hoc

Walaupun semua Pengadilan Khusus yang dibentuk setelah 1998 mengatur mengenai hakim ad hoc akan tetapi pengaturan tersebut dalam setiap pengadilan berbeda-beda. Tidak semua Pengadilan Khusus mewajibkan adanya Hakim Ad Hoc. Pengadilan Khusus yang mengatur hakim ad hoc secara fakultatif ada dua, yaitu Pengadilan Niaga dan Pengadilan Pajak. Dalam kedua Pengadilan ini Hakim Ad Hoc dapat diadakan dalam keadaan tertentu. Dalam kedua pengadilan ini pengaturan mengenai hakim ad hoc juga terdapat sedikit perbedaan rumusan pengaturannya. Dalam Pengadilan Pajak disebutkan dengan tegas bahwa hakim ad hoc dapat direkrut jika menyangkut perkara tertentu, sementara dalam Pengadilan Niaga hal tersebut tidak disebutkan dengan tegas, UU hanya menyebutkan pada pengadilan tingkat pertama dapat diangkat seorang ahli sebagai Hakim Ad Hoc. Kesamaan di antara kedua pengadilan ini hakim ad hoc hanya dimungkinkan pada pengadilan tingkat pertama.[3]

Pengadilan Khusus yang mengatur hakim ad hoc sebagai syarat mutlak yaitu Pengadilan HAM, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Pengadilan PPHI, dan Pengadilan Perikanan. Persamaan dari keempat pengadilan ini dalam hal Hakim Ad Hoc yaitu Hakim Ad Hoc diadakan disetiap tingkat pengadilan. Perbedaan dari keempatnya terutama berkaitan dengan persyaratan-persyaratan untuk dapat diangkat menjadi Hakim Ad Hoc.

Mengenai istilah Hakim Ad hoc sendiri sempat menjadi perdebatan, khususnya dalam perancangan Blue Print Pengadilan Tipikor[4], yaitu apakah hakim ad hoc ini akan direkrut berdasarkan perkara –jika ada perkara baru dilakukan rekrutmen dan setelah perkara selesai maka hakim ad hoc tersebut tidak lagi menjabat sebagai hakim – atau direkrut untuk jangka waktu tertentu. Perdebatan ini muncul karena pengertian ad hoc memang pada umumnya dipahami mendekati pendapat yang pertama[5]. Dalam Kamus Kata-Kata Serapan Asing Dalam Bahasa Indonesia istilah ad hoc diartikan sebagai “istimewa untuk hal itu”[6]. Selain masalah definisi dari ad hoc itu faktor lain yang menyebabkan perbedaan pendapat itu yaitu karena dalam UU No. 30 Tahun 2002 sama sekali tidak disebutkan mengenai masa tugas Hakim Ad Hoc. Hal ini berbeda pengaturannya dalam Pengadilan HAM,dalam undang-undangnya disebutkan secara tegas masa tugas dari para hakim ad hoc tersebut.

Syarat, Wewenang dan Tata Cara Pengangkatan Hakim Ad Hoc,

Dalam semua Pengadilan Khusus yang mengatur mengenai Hakim Ad Hoc pengaturan dalam tingkat UU tidak seragam. Tidak semua UU tersebut mengatur mengenai syarat, tata cara serta hal-hal lain yang berkaitan dengan Hakim Ad Hoc secara jelas. UU yang mengatur mengenai tata cara pengangkatan, syarat dan lainnya yang paling minim yaitu pada Pengadilan Perikanan. Dalam UU No. 31/2004 tersebut satu-satunya ketentuan yang mengatur mengenai syarat yaitu terdapat pada bagian penjelasan pasal 78 ayat (1) yang mengatakan Yang dimaksud dengan "hakim ad hoc" adalah seseorang yang berasal dari lingkungan perikanan, antara lain, perguruan tinggi di bidang perikanan, organisasi di bidang perikanan, dan mempunyai keahlian di bidang hukum perikanan.

Wewenang

Mengenai wewenang pengangkatan umumnya disetiap pengadilan diatur bahwa Hakim Ad Hoc diangkat oleh Presiden atas usul Mahkamah Agung, hanya pengaturan dalam Pengadilan Pajak hal tersebut tidak jelas, hanya dikatakan dalam pasal 9 ayat (2) UU No. 4/2004 ‘Dalam memeriksa dan memutus perkara Sengketa Pajak tertentu yang memerlukan keahlian khusus, Ketua dapat menunjuk Hakim Ad Hoc sebagai Hakim Anggota.’ Di sini tidak jelas siapa yang dimaksud dengan Ketua apakah Ketua Pengadilan atau Ketua MA yang memiliki wewenang tersebut. Akan tetapi tampaknya ketidakjelasan tersebut lebih disebabkan karena pada awalnya Pengadilan Pajak didirikan memang bukan sebagai pengadilan khusus akan tetapi Peradilan Khusus, hanya saja perubahan konstitusi yang membatasi lingkungan peradilan hanya ada 4 yang menyebabkan Peradilan Pajak ini harus dirubah menjadi Pengadilan Khusus Pajak. Selain perubahan konstitusi, proses penyatuan atap juga merupakan faktor yang membuat ketidakjelasan tersebut, dalam UU tersebut dikatakan pengaturan lebih lanjut tata cara pengangkatan Hakim Ad Hoc diatur dengan Keputusan Menteri, yang mana saat ini hal tersebut kemungkinan besar tidak akan dimungkinkan lagi.[7]

Sedikit perbedaan terdapat pada pengadilan PHI. Pada pengadilan ini walaupun usulan pengangkatan menjadi wewenang Ketua MA, akan tetapi usulan MA tersebut harus didasari dari usulan yang diajukan oleh serikat Buruh dan organisasi pengusaha.

Syarat Hakim Ad Hoc

Mengenai syarat-syarat formil bagi Hakim Ad Hoc juga berbeda-beda, akan tetapi terdapat benang merah dari masing-masing pengadilan khusus tersebut, yaitu kompentensi. Umumnya syarat kompentensi tersebut diturunkan dalam bentuk gelar kesarjanaan dan pengalaman. Berdasarkan UU tidak semua pengadilan khusus mensyaratkan lulusan fakultas hukum dan sejenisnya, cukup banyak juga pengadilan khusus yang tidak mewajibkan lulusan fakultas hukum sebagai syarat mutlak. Pengadilan Khusus yang mensyaratkan hanya gelar kesarjanaan hukum yaitu Pengadilan PHI khusus bagi Hakim Ad Hoc pada MA. Pengadilan Khusus yang mensyaratkan lulusan fakultas hukum dan sejenisnya (Syariah atau lulusan PTIK)[8] yaitu Pengadilan HAM dan Korupsi.

Pada Pengadilan Niaga, Pajak dan PHI khusus untuk Hakim Ad Hoc pada Pengadilan Negeri syarat yang berkaitan dengan gelar kesarjanaan tidak diatur secara spesifik. Bahkan pada Pengadilan PHI tampaknya benar-benar hanya syarat formil belaka. Dalam UU nya disebutkan salah satu syarat untuk dapat diangkat menjadi hakim ad hoc pada pengadilan negeri yaitu berpendidikan serendah-rendahnya S1, tanpa dijelaskan S1 dari lulusan apa. Sementara pada Pengadilan Perikanan syaratnya yaitu lulusan dari perguruan tinggi bidang perikanan atau organisasi dibidang perikanan dan memiliki keahlian dibidang hukum perikanan.[9]

Mengenai pengalaman dibidang tertentu pada pengadilan khusus tidak semua pengadilan khusus mensyaratkan dengan jelas berapa lama pengalaman dibidang tertentu tesebut dibutuhkan. UU yang mengatur secara tegas hanya pada Pengadilan Korupsi dan Pengadilan PHI. Pada pengadilan Korupsi pengalaman minimal dibidang hukum selama 15 tahun untuk Hakim tingkat PN dan PT, dan 20 tahun untuk tingkat MA. Pada Pengadilan PHI yaitu 5 tahun dibidang hubungan industrial baik untuk Hakim pada tingkat Pertama maupun MA. Pada pengadilan khusus lainnya tidak diatur secara jelas.

Khusus pada Pengadilan Niaga terdapat satu syarat formil lainnya yang tidak ada dalam pengadilan-pengadilan khusus lainnya, yaitu untuk dapat diangkat sebagai hakim ad hoc sebelumnya harus terlebih dahulu lulus program pelatihan khusus pada Pengadilan Niaga.

Tata Cara Pengangkatan Hakim Ad Hoc

Hingga saat ini Pengadilan Khusus yang telah memiliki Hakim Ad Hoc baru 3 pengadilan, yaitu Pengadilan Niaga, Pengadilan HAM, dan Pengadilan Korupsi. Dari keenam UU yang mengatur Pengadilan Khusus yang mengatur soal hakim ad hoc tersebut hanya UU No. 30/2002 saja yang menyatakan secara tegas adanya prinsip transparansi dan partisipasi. Pengaturan secara tegas ini ternyata mempunyai dampak nyata pada pelaksanaan proses rekrutmen hakim Ad Hoc tersebut. Jika dalam proses rekrutmen Hakim Ad Hoc Pengadilan Niaga dan HAM Mahkamah Agung melakukan proses rekrutmen tersebut secara sepihak saja, dalam proses rekrutmen Hakim Tipikor Mahkamah Agung membentuk sebuah Panitia Seleksi yang mengikutsertakan komponen civil society.

Tahap yang dilalui pada rekrutmen Hakim Ad Hoc Tipikor yaitu, MA membentuk Pansel, kemudian Pansel mengumumkan dibukanya pendaftaran Hakim Ad Hoc. Setelah calon-calon hakim ad hoc tersebut mendaftar, Pansel kemudian melakukan seleksi yang dibagi menjadi beberapa tahap, tahap pertama yaitu seleksi administrasi. Terhadap calon yang telah memenuhi kelengkapan-kelengkapan administratif tersebut kemudian diwajibkan untuk mengikuti test tertulis. Setelah test tertulis calon yang lulus kemudian dilakukan profile assessment test yang dilakukan konsultan psikologi dan manajemen profesional. Tahap terakhir yang harus dilalui oleh calon adalah tahap fit and proper test. Dari tahapan-tahan tersebut kemudian Pansel mengajukan usulan nama-nama calon kepada Ketua MA. Pada proses yang lalu Pansel mengajukan 9 calon Hakim Ad Hoc yang terdiri dari 3 orang untuk tingkat PN, 3 untuk tingkat PT dan 3 untuk tingkat MA.

Pada Pengadilan Niaga dan HAM proses rekrutmennya hampir sama, yaitu MA membentuk Tim Seleksi. Tim tersebut kemudian menjaring calon-calon hakim ad hoc, umumnya target penjaringan dilakukan pada kalangan akademisi. Para calon tersebut kemudian mengikuti pelatihan khusus yang diadakan oleh MA bekerja sama dengan pihak luar. Hasil pelatihan khusus tersebut kemudian menjadi dasar bagi MA untuk mengusulkan calon hakim ad hoc kepada Presiden.

Untuk Pengadilan PHI secara normatif terdapat perbedaan yang cukup substansial dengan dalam hal pengangkatan hakim ad hoc dengan pengadilan khusus lainnya. Dalam UU ini disebutkan bahwa pengangkatan hakim ad hoc dilakukan dengan cara organisasi Pengusaha dan Serikat Buruh mengusulkan nama kepada Menteri (Tenaga Kerja) untuk kemudian usulan tersebut diserahkan kepada Ketua MA, dan Ketua MA mengusulkan nama-nama tersebut kepada Presiden untuk disahkan. Dari ketentuan ini tampaknya pola rekrutmen tidak lagi dapat menggunakan mekanisme rekrutmen terbuka seperti pada Pengadilan Korupsi maupun mekanisme penjaringan seperti pada pengadilan HAM dan Niaga.

Susunan Majelis

Salah satu hal

Perwakilan masing-masing pihak tersebut kemudian diterapkan juga pada susunan majelis hakim yang akan memeriksa perkara, di setiap perkara majelis hakim harus terdiri dari hakim karir yang juga menjabat sebagai Ketua Majelis, dan 2 Hakim Ad Hoc dari masing-masing pihak tersebut.

Mengenai jangka waktu masa tugas dari Hakim Ad Hoc tidak semua Undang Undang mengaturnya. UU yang mengatur secara tegas berapa lama masa tugas tersebut yaitu hanya pada Pengadilan HAM dan PHI, keduanya mengatur masa tugas tersebut selama 5 tahun. Lebih jauh lagi pada Pengadilan HAM juga ditentukan jumlah minimal Hakim Ad Hoc yang harus diangkat pada saat berdirinya pengadilan tersebut.

c. Kekhususan Dalam Hukum Acara

Berdasarkan bidang hukum ada 5 Pengadilan Khusus yang merupakan pengadilan pidana, 2 Pengadilan Khusus yang merupakan pengadilan Perdata, serta 1 pengadilan Khusus yang termasuk bidang TUN. Yang masuk dalam bidang hukum pidana yaitu Pengadilan Ekonomi, Anak, HAM, Korupsi dan Perikanan. Dari kelima UU yang mengaturnya diatur juga mengenai hukum acara yang berbeda dengan perkara pidana pidana pada umumnya. Pada Pengadilan HAM, Anak, dan Perikanan aturan KUHAP yang disimpangi yaitu mengenai jangka waktu penahanan. Pada Pengadilan HAM ketentuan jangka waktu tersebut diperpanjang melebihi aturan di KUHAP, sementara pada Pengadilan Anak dan Perikanan justru sebaliknya, masa penahanan disetiap tahapan dipersingkat.

Pada Pengadilan Korupsi keistimewaan yang diberikan oleh UU yaitu mengenai upaya paksa. Jika pada perkara pidana lainnya penyitaan harus dilakukan dengan seizin Ketua Pengadilan hal ini tidak berlaku pada Pengadilan Korupsi. Perkara yang sudah masuk pada tahap penyidikan dan penuntutan juga tidak dapat dihentikan atau dikeluarkan SP3. Ketentuan mengenai segala macam izin, seperti izin untuk membuka rahasia bank, menahan serta menetapkan pejabat negara menjadi tersangka juga berbeda dari hukum acara pada umumnya.

Kesamaan lain dari setiap pengadilan ini yaitu pengaturan mengenai penyidik dan penuntut umum, kesemuanya menuntut penyidik serta penuntut umumnya memiliki keahlian dibidang tertentu. Perbedaannya, pada pengadilan Korupsi institusi yang menjadi penyelidik, penyidik dan penuntut umum tidak lagi Kepolisian dan Kejaksaan, akan tetapi KPK. Sementara pada pengadilan HAM yang berbeda hanya pada tahap penyelidikan, yaitu dilakukan bukan oleh kepolisian melainkan Komnas HAM.


Pengadilan Khusus yang berdasarkan hukum perdata yaitu Pengadilan Niaga dan Pengadilan PHI, sementara yang termasuk pada pengadilan TUN yaitu Pengadilan Pajak[10]. Pada ketiga pengadilan ini penyimpangan terhadap hukum acara yang berlaku cukup banyak.[11] Selain hal-hal prosedural, keunikan dari hukum acara ketiga pengadilan ini yaitu pada tingkatan pengadilan. Pada Pengadilan Niaga dan PHI tingkatan pengadilan dipangkas menjadi 2 tingkat saja, yaitu pada tingkat pertama dan kasasi saja, sementara untuk Banding tidak ada. Pada Pengadilan Pajak pemangkasan tersebut lebih drastis lagi, putusan Pengadilan Pajak tingkat Pertama merupakan putusan yang bersifat final yang tidak dapat diajukan Banding maupun Kasasi lagi, kecuali dalam hal tertentu Peninjauan Kembali oleh MA. Tujuan dari pemangkasan tingkatan pengadilan tersebut adalah untuk membuat proses penyelesaian dispute menjadi lebih cepat.

Tabulasi Perbandingan Jangka Waktu Penahanan

PROSES
KUHAP
PENGADILAN ANAK
PENGADILAN HAM
PENGADILAN PERIKANAN
PENYIDIKAN
Paling lama 20 hari
Paling lama 20 hari
paling lama 90 hari.

paling lama 60 (dua puluh) hari.

Perpanjangan
Paling lama 40 hari
Paling lama 10 hari
paling lama 90 hari.

paling lama 10 (sepuluh) hari.

PENUNTUTAN
Paling lama 20 hari
Paling lama 10 hari
paling lama 30 hari.
10 hari
Perpanjangan
Paling lama 30 hari
Paling lama 15 hari
paling lama 20 (dua puluh) hari
Paling lama 10 hari
PEMERIKSAAN PERSIDANGAN Tingkat 1
Paling lama 30 hari
Paling lama 15 hari
paling lama 90 (sembilan puluh) hari
20 hari
Perpanjangan
Paling lama 60 hari
Paling lama 30 hari
paling lama 30 (tiga puluh) hari
Paling lama 10 hari
PEMERIKSAAN PERSIDANGAN BANDING
Paling lama 30 hari
Paling lama 15 hari
paling lama 60 (enam puluh) hari
20 hari
Perpanjangan
Paling lama 60 hari
Paling lama 30 hari
paling lama 30 (tiga puluh) hari
Paling lama 10 hari
PEMERIKSAAN PERSIDANGAN KASASI
Paling lama 50 hari
Paling lama 25 hari
Tidak diatur dalam UU pengadilan HAM (mengacu pada KUHAP)
20 hari
Perpanjangan
Paling lama 60 hari
Paling lama 30 hari
Tidak diatur dalam UU Pengadilan HAM (mengacu pada KUHAP)
Paling lama 10 hari

Dampak Pembentukan Pengadilan Khusus terhadap MA Pasca Penyatuan Atap


Berikut ini akan dibedah sekilas mengenai masing-masing pengadilan tersebut.

Pengadilan Ekonomi

Pengadilan Ekonomi dibentuk berdasarkan Undang Undang Darurat No. 7 Tahun 1955, yaitu dalam masa Pemerintahan Perdana Menteri Ali Sostroamidjojo. Pengadilan ini dibentuk untuk memberantas tindak pidana ekonomi yang saat itu dianulir cukup merebak. Pengadilan ini berada dibawah lingkungan Badan Peradilan Umum.

Kekhususan yang dimiliki pengadilan ini adalah pengadilan ini mengadili khusus tindak pidana yang diatur dalam UU Darurat ini, Ordonnantie gecontroleerde goederen 1948, Prijsbeheersing-ordonnantie 1948, Undang-undang Penimbunan Barang-barang 1951, Rijstordonnantie 1948, Undang-undang Darurat Kewajiban Penggilingan Padi, Deviezen Ordonnantie 1940, serta tindak pidana lainnya yang oleh undang-undang disebut sebagai Tindak Pidana Ekonomi. Kekhususan lainnya adalah ditambahkannya aturan-aturan yang merupakan materi hukum materil maupun formil.

Dalam pengadilannya sendiri kekhususan yang unik adalah adanya hakim, jaksa dan panitera yang khusus hanya menangani perkara tindak pidana ekonomi yang dapat dipekerjakan lebih dari 1 (satu) pengadilan.

Pengadilan Landreform
Pengadilan Landreform dibentuk melalui UU No. 21 Tahun 1964. Latar belakang pembentukan pengadilan ini diduga sangat berkaitan erat dengan berkembangnya ajaran Marxisme di Indonesia yang diwakili oleh PKI. Pengadilan ini dibentuk untuk mengadili perkara-perkara perdata maupun pidana yang berkaitan dengan konsep landreform yang diatur dalam beberapa peraturan perundang undangan agraria seperti UU Pokok Agraria No. 5/1960, Undang-undang No. 2 tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil, Undang-undang No. 38 Prp. tahun 1960 tentang Penggunaan dan Penetapan Luas Tanah untuk tanaman-tanaman tertentu, Undang-undang No. 51 Prp. tahun 1960 tentang larangan pemakaian tanah tanpa izin yang berhak atau kuasanya, Undang-undang No. 56 Prp. tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian, Peraturan Pemerintah No. 224 tahun 1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian, Undang-undang No. 16 tahun 1964 tentang Bagi Hasil Perikanan dan peraturan lainnya yang secara tegas disebut sebagai peraturan landreform.

Kekhususan lain yang dimiliki oleh pengadilan ini selain hukum materil tersebut di atas terletak pada penggunaan istilah pengadilannya, upaya hukum, serta komposisi hakimnya. Pengadilan ini tidak menggunakan istilah ‘Pengadilan Negeri’ maupun ‘Pengadilan Tinggi’ untuk menunjuk tingkatannya, istilah yang dipergunakan adalah ‘Pengadilan Landreform Daerah’ dan ‘Pengadilan Landreform Pusat’. Upaya Hukum yang dapat diajukan di pengadilan ini juga tergolong unik karena tingkatannya berakhir di Pengadilan Landreform Pusat sebagai pengadilan banding, sedangkan untuk kasasi tidak diperkenankan kecuali Kasasi Demi Kepentingan Hukum.

Mengenai majelis hakimnya pada pengadilan ini memiliki komposisi yang berbeda dari pengadilan pada umumnya. Komposisi majelis hakim pengadilan landreform baik pusat maupun daerah terdiri 5 (lima) orang hakim yang berasal dari hakim pengadilan umum sebagai ketua majelis, Pejabat Tinggi Departemen Agraria sebagai hakim anggota, serta 3 (tiga) orang wakil organisasi massa tani sebagai hakim anggota. Khusus untuk perkara yang melibatkan anggota TNI ketua majelis dipimpin oleh hakim militer menggantikan hakim pengadilan umum.

Rekrutmen hakim yang berasal dari Pengadilan Negeri dilakukan oleh Menteri Kehakiman atas usul Ketua MA. Untuk hakim anggota yang berasal dari Pejabat Tinggi Departemen Agraria rekrutmen dilakukan oleh Menteri Kehakiman atas usul Menteri Agraria. Sedangkan untuk hakim anggota yang berasal dari Organisasi Massa Tani rekrutmen dilakukan oleh Menteri Kehakiman atas usul Sekretaris Jendral Front Nasional.

Usia pengadilan ini tergolong singkat, karena pada tahun 1970 pengadilan ini dihapus melalui UU No. 7 Tahun 1970[12]. Latar belakang penghapusan pengadilan ini seperti halnya dengan latar belakang pembentukannya sarat dengan muatan ideologis. Dalam konsideran a Undang Undang tersebut disebutkan bahwa susunan majelis hakim yang terdiri dari 3 (tiga) orang wakil organisasi massa tani berporoskan Nasakom, dan hal ini bertentangan dengan Tap MRPS No. XXV/MPRS/1966 dan No.XXXVIII/MPRS/ 1968.

Pengadilan Anak
Dasar hukum dari Pengadilan Anak ini adalah UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Ide dasar dari pembentukan pengadilan ini pada dasarnya adalah untuk memberikan perlakuan khusus yang lebih manusiawi pada pelaku tindak pidana yang masih berada di bawah umur. Perlakuan khusus tersebut dimulai tidak hanya pada tahap pemeriksaan di pengadilan akan tetapi di setiap proses peradilannya, dari tahap penyidikan hingga lembaga pemasyarakatan.

Keistimewaan dari UU ini dari sisi hukum materilnya yaitu UU ini memperingan ancaman hukuman yang diatur oleh KUHP, menambahkan jenis pidana tambahan, serta memberikan batasan umur yang jelas tentang siapa yang dapat dikategorikan sebagai anak, yaitu setiap orang yang berusia 8-18 tahun[13]. UU ini juga memperhalus istilah terpidana bagi anak menjadi Anak Nakal.

Aspek hukum formil yang berubah pada UU ini antara lain berkaitan dengan proses penyidikan dimana dalam UU ini dinyatakan pemeriksaan terhadap tersangka anak wajib dilakukan dalam suasana kekeluargaan. Dalam setiap proses pemeriksaan mulai dari penyidikan hingga pemeriksaan di persidangan pemeriksaan dilakukan secara tertutup, kecuali dalam hal pembacaan putusan pengadilan, hal mana berbeda dari perkara untuk orang dewasa. UU ini juga merubah aturan-aturan mengenai jangka waktu penahanan yang ada di KUHAP menjadi lebih singkat. Satu hal lain yang berbeda dari proses pemeriksaan bagi orang dewasa yaitu diwajibkannya tersangka/ terdakwa untuk didampingi oleh suatu lembaga yang dinamakan Pembimbing Kemasyarakatan



Artikel pengadilan ikan : http://www.solusihukum.com/artikel/artikel44.php
[1] Sebenarnya terdapat satu lagi undang-undang yang mengatur mengenai Kekuasaan Kehakiman yang pernah ada di Indonesia, yaitu UU No. 19 Tahun 1948, tapi penulis belum berhasil mengakses UU tersebut.
[2] Pengertian Hakim Ad Hoc secara singkat dapat diartikan sebagai hakim yang bukan berasal dari hakim karir seperti dalam pengadilan biasa yang bertugas khusus dalam pengadilan khusus tersebut dalam jangka waktu tertentu.

[3] Walaupun pengaturan yang secara tegas hanya terdapat pada Pengadilan Niaga, pada Pengadilan Pajak sama sekali tidak disinggung mengenai bolehnya pada tingkat Mahkamah Agung diangkat seorang Hakim Ad Hoc.
[4] Blue Print Tipikor adalah kegiatan yang diprakarsai oleh Bappenas yang di dalamnya melibatkan pihak-pihak dari lembaga-lembaga negara yang terkait dengan pembentukan Pengadilan Tipikor. Kegiatan ini dipimpin oleh Hakim Agung Prof. Paulus E Lotulung sebagai ketua Steering Commitee yang dibantu oleh LeIP dan PSHK.
[5] Dalam penyusunan Blue Print Pengadilan Tipikor pada akhirnya disepakati bahwa hakim ad hoc direkrut berdasarkan masa tugas.
[6] Kamus Kata-Kata Serapan Asing Dalam Bahasa Indonesia, JS Badudu, Kompas 2003

[7] Pengadilan Pajak yang didirikan pada masa system dua atap awalnya secara administratif, finansial, dan organisatoris akan berada dibawah Menteri Keuangan, sebagaimana halnya Peradilan Umum dan TUN berada dibawah Departemen Kehakiman. Dengan dialihkannya kekuasaan eksekutif dalam hal peradilan ke MA serta adaya pembatasan lingkungan peradilan, Pengadilan Pajak kemudian dijadikan Pengadilan Khusus dibawah lingkungan peradilan TUN. Secara organisatoris dan administratif membuat hubungan antara Menteri Keuangan dengan Pengadilan ini menjadi hilang.
[8] Tidak jelas mengapa lulusan syariah dapat menjadi hakim ad hoc walaupun jika dilihat dari segi kompentensi terasa agak kurang tepat. Cukup keras dugaan hal ini terjadi karena desakan dari kalangan lulusan syariah. Desakan ini juga terjadi pada pembentukan UU Advokat No. 18 Tahun 2003, di mana pada akhirnya lulusan syariah dapat juga menjadi advokat.
[9] Persyaratan ini terkesan ambigu, karena di satu sisi ketentuan ini dapat ditafsirkan bahwa sarjana non hukum dapat menjadi hakim ad hoc, tapi di sisi lain ketentuan keahlian di bidang hukum perikanan membuka penafsiran bahwa gelar kesarjanaan hukum merupakan syarat mutlak.

[11] Khusus untuk pengadilan pajak, karena UU Pengadilan Pajak awalnya memang ditujukan sebagai badan peradilan tersendiri maka pengaturan hukum acaranya juga tersendiri, akan tetapi dengan dimasukkannya pengadilan pajak kebawah lingkungan Peradilan TUN sementara belum terdapat perubahan atas UU No. 4/2002 penulis belum dapat mengetahui apakah setelah perubahan atas UU tersebut hukum acara yang berlaku mengikuti UU No. 5/1986 atau tetap mengikuti UU No. 4/2002.
[12] Sebenarnya penghapusan telah dimulai pada tahun 1969 dengan UU No. 6 Tahun 1969, akan tetapi dalam UU No. 6/1969 tersebut disebutkan bahwa Pengadilan Landreform mulai efektif tidak berlaku semenjak ada pengadilan penggantinya, akhirnya dengan alasan efisiensi UU No. 7/1970 kembali mempertegas penghapusan pengadilan tersebut dan menyerahkan yurisdiksinya kembali kepada pengadilan umum.
[13] Dari batasan umur sebenarnya muncul suatu pertanyaan, bagaimana jika pelaku tindak pidana tersebut berusia dibawah umur 8 tahun, apakah diperiksa dengan mekanisme biasa. Penulis dalam hal ini berpendapat bahwa pembuat UU ini tidak bermaksud seperti itu akan tetapi justru ingin meghapuskan pidana anak yang dilakukan oleh anak yang berusia dibawah umur 8 tahun, sehingga segala perbuatan pidana yang dilakukan oleh anak dibawah umur 8 tahun dianggap bukan tindak pidana, atau setidaknya tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya.

Tidak ada komentar: